Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gelombang itu Memaksanya Bunuh Diri

12 Maret 2018   16:18 Diperbarui: 12 Maret 2018   16:38 512
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lelaki itu membuang tatap matanya jauh-jauh. Dia sedang berdiri di sebuah tebing pinggir laut selatan. Suara debur ombak memukul-mukul batu karang begitu keras. Laut selatan sedang pasang menuju badai.

Lelaki itu sama sekali tak terganggu dengan suasana yang begitu bergemuruh. Telinganya tertutup rapat-rapat untuk urusan badai ini. Ingatannya yang bergulung-gulung memenuhi kepala menutup semua itu. Sangat rapat.

Dia teringat betapa dia adalah lelaki yang beruntung. Berdarah keraton. Dilahirkan dari keluarga berada. Mengecap pendidikan tinggi di luar negeri. Mengambil alih perusahaan keluarga setelah ayahnya menua. Lalu menikahi seorang perempuan cantik selebriti. Punya anak perempuan lucu secantik putri salju.

Lelaki itu mengusap peluh yang mengaliri dahinya. Apakah memang itu semua adalah keberuntungan? Dulu dia yakin sekali. Sekarang? Rasanya itu hanya bagian mimpi yang tidak jadi.

Sementara adik kandungnya memilih jalan yang berbeda.  Masuk ke pesantren.  Belajar ilmu-ilmu agama dan ilmu ekonomi sederhana.  Bekerja sebagai pedagang kelontong biasa.  Menikah dengan gadis desa.  Punya anak dua yang semuanya masuk di pesantren yang sama dengan bapaknya.  Namun sangat terlihat kehidupan adiknya begitu berbahagia.

-----

Ayahnya terlibat perseteruan dengan keluarga raja yang baru naik tahta. Semua asetnya dibekukan. Tak ada ampun. Ibunya yang seorang sosialita tingkat tinggi mengalami depresi.  Gaya hidup wahnya terpelanting keras begitu semua kekayaannya runtuh. Itu penyebabnya.

Lelaki itu harus rela kehilangan jabatannya. Terpaksa membawa ijazah luar negerinya kesana kemari untuk melamar kerja. Hampir tidak ada perusahaan yang mau menerimanya karena dia terbiasa memerintah dan tidak biasa diperintah. Sementara posisi yang tersedia adalah yang harus mau diperintah.

Karirnya mulai menaiki tangga. Posisinya semakin bagus. Jabatannya semakin penting. Hanya saja karena tuntutan memenuhi kebutuhan istrinya yang selebriti selangit, memaksanya untuk melakukan tindakan tercela.  Uang perusahaan ditilapnya.  Alhasil dia harus berurusan dengan pengadilan dan penjara.

Selama di penjara. Istrinya yang cantik jelita meninggalkannya. Hanya menuliskan sebuah surat yang berisi bahwa dia tidak kuat lagi kalau harus menunggu suaminya keluar dari penjara.  Pergilah perempuan selebriti itu dari hidupnya dengan membawa serta buah hatinya.

Pukulan dari gelombang demi gelombang cobaan merajam hati lelaki itu.  Ayahnya meninggal dunia karena sakit akibat kelelahan setelah perseteruan tak habis-habis dengan pihak raja.  Ibunya harus dibawa ke rumah sakit jiwa karena tidak sanggup lagi memikul beban di jiwa. 

Sekeluarnya lelaki itu dari penjara, adiknya hendak menolongnya dengan menawarkan menjadi pedagang.  Lelaki itu menolak.  Itu pekerjaan yang dia tidak sanggup mengerjakannya.  Dia lebih memilih menjadi garong maya.  Merampok dengan cara mengelabuhi teknologi.  Bersama teman-temannya, lusinan bank digasaknya.  Dana ribuan nasabah mengalir masuk ke kantong mereka.  Polisi mencium kejahatannya dan lalu mencokoknya di sebuah nigh club yang menjadi langganannya.

Untuk kedua kalinya, lelaki itu berurusan dengan penjara.  Kali ini masa hukumannya lebih lama.  Begitu keluar dari penjara, lelaki itu sudah menua.  Tidak tahu lagi harus menuju kemana.  Dia sudah kehilangan hati.  Bahkan pengajian yang rajin diikutinya di dalam penjara semakin membuatnya putus asa.  Dia merasa Tuhan dengan sengaja telah meninggalkannya.

-----

Lelaki itu menghela nafas sekencang badai.  Dulu dia sering datang ke tempat ini untuk bersenang-senang.  Sewaktu dia masih menjadi orang yang berkuasa karena hartanya.  Ini memang tempat favorit bagi orang-orang kaya yang ingin membuang uangnya. 

Dulu gelombang lautan dianggapnya sambil lalu.  Dia malah sering menantangnya pada saat musim badai.  Persis sama seperti sekarang.  Bedanya dulu dia di atas yacht mewahnya sedangkan kini dia di atas tebing terbuka.

Lelaki itu membuang semua ingatan yang telah dibedahnya sedari tadi.  Serius memandangi gelombang yang makin besar menghampiri di bawah tebing tempat dia berdiri.  Lelaki itu membuka bajunya.  Inilah saatnya.  Gelombang itu serupa dengan ingatan.  Harus ditaklukkan atau lupakan. 

Tidak!  Dia sudah terlalu lelah.  Melupakan masa lalu yang menghancurkan bukan lagi pilihan.  Ini saatnya mengembalikan tantangan.  Dia masih orang yang sama. 

Lelaki itu mengayunkan tubuh ke bawah.  Di alam kematian dia akan mengadu kepada Tuhan.  Gelombang itu telah memaksanya bunuh diri.

-----

Jakarta, 12 Maret 2018 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun