Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Drama

Fragmen Calon Arang, Perempuan Tua dan Seorang Lelaki Pengelana

9 Maret 2018   23:08 Diperbarui: 9 Maret 2018   23:15 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketukan nada di panggung terdengar begitu mengancam.  Fragmen mempersembahkan seorang perempuan tua bermata kelam bernama Calon Arang memegangi pisau belati.  Tatapannya mengarah pada seseorang di tengah panggung yang sedang mencibir dengan bibirnya yang njedir.  Seorang lelaki bernama Mpu Bahula yang menyebut lakonnya di panggung sebagai pengelana.

Kau adalah lelaki haram jadah! Pengelana jahanam yang hidupnya seperti kumbang jalang!

Setelah teriakan perempuan itu, musik berhenti.  Memperlihatkan betapa lelaki itu memalingkan mukanya yang seolah tak berdosa kepada penonton.  Menjeritkan pembelaan;

Aku tidak jalang!  Aku hanyalah pengendara takdir.  Kaulah yang terlalu nyinyir!

Musik berbunyi pelan mengikuti lampu yang berputar-putar menggambar kilas balik seorang gadis muda yang menggendong seorang bayi mungil.  Terseok-seok di pinggir jalan setapak yang ramai oleh derap kuda dan kereta.  Kilatan lampu memperlihatkan sebuah angka di layar.  Abad ke-12.

Tiba-tiba musik kembali menggelepar-gelepar.  Kilas balik itu menunjukkan si lelaki bersanding dengan gadis muda itu.  Membimbing tangannya mengajak berlari.  Sementara tangan satunya memegang kitab tebal yang lusuh.  Musik dan lampu sama-sama menderu. 

Kilas balik dihentikan dengan kembali kepada perempuan tua yang sekarang matanya memerah saga.  Lelaki di seberangnya nampak mengerut seperti jeruk tua.

Aku akan mengulitimu wahai pengkhianat mantu!  Lihat bagaimana belati ini akan bersarang di jantungmu!

Musik mengeras dan berbisa.  Asap tipis ditiupkan ke panggung.  Perempuan tua itu melemparkan belati di tangannya.  Mengarah persis ke dada lelaki pengelana.  Sebelum merobek jantung lelaki itu, belati disambar oleh seorang lelaki tua yang berkata bijaksana;

Ini bukan saatnya lagi untuk jumawa wahai penguasa tenung.  Kembalilah ke dunia gelapmu di bawah sana.

Lelaki tua itu meremas belati itu hingga hancur.  Melemparkan serpihannya kepada perempuan tua yang melotot sengit seperti patung Durga.  Mengenai mukanya.  Jeritan perempuan tua bermata saga itu melengking tinggi.  Dibarengi suara musik yang bernada mengantarkan arwah baru.  Cahaya lampu terus melemah.  Seiring dengan lenyapnya tubuh perempuan tua itu dibalik asap yang terus menebal.

Layar panggung menutup.  Cahaya terang berpendaran.  Para penonton bertepuk tangan.  Sekali lagi kebaikan mengalahkan kebatilan.

Jakarta, 9 Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun