"Prolet, kamu sudah mendengar? Â Setengah kantor hari ini tidak masuk kerja karena keracunan buah. Â Apa itu dari buah yang selalu kamu beli?"
Wah. Â Kali ini Prolet tidak terima. Â Dia mengangkat muka. Â Lalu dengan tegas menyebut nama-nama. Â Tidak gagap sama sekali.
"Itu adalah nama-nama yang kemarin makan buah yang dibawa Bos Kecil, Tuan Puteri."Â
Prolet meneruskan dengan menyebut nama-nama yang lain. Â Termasuk di dalamnya adalah dirinya, Silvy dan Vera. Â Kalimatnya lancar.
"Yang saya sebutkan terakhir adalah nama-nama yang makan buah yang saya beli dari mamang buah. Â Semuanya masuk kerja Tuan Puteri."
Tuan Puteri sedari tadi mendengarkan sambil tidak melepaskan pandangan dari Prolet. Â Prolet menyadari itu. Â Waduh, jangan ada pertanyaan lagi. Â Aku pasti akan gagap lagi. Â Pikir Prolet memohon.
Permohonan Prolet terkabul. Â Tuan Puteri hanya mengangguk-angguk mengerti. Â Kembali bergerak menuju ruangannya. Â Prolet merasa ada raksasa terlepas dari dadanya.
"Itulah Prolet. Â Ingatlah bahwa membeli buah lokal tidak sesederhana yang dikira. Â Selalu ada cinta di dalamnya. Â Cinta kepada tanah airnya," suara Tuan Puteri dari belakang Prolet sungguh mengejutkan. Â Buru-buru Prolet membalikkan badan menjawab.
"Be...bet...betul  Tu..tuan Puteri.  A..ada...cin...cinta...di...je..ruk me..medan."
Jakarta, 9 Maret 2018