Aku pernah mengalaminya. Â Awalnya hanya duduk di depan cermin saat pagi buta. Â Memandangi sepasang mataku sedang mencari-cari. Â Di sepasang mata di seberang sana. Â Lompatan kecil keinginan atau percikan cahaya. Â Tidak ada. Â Itu hanya nampak seperti sepasang mata mesin yang bekerja sesuai jamnya.
Begitu aku berdiri. Â Menyingkirkan kepenatan setelah berjam-jam mencari. Â Aku menuju ke kolam di halaman rumah. Â Aku berharap kemauanku beriak sama dengan gelombang mungil yang tercipta ketika ikan-ikan itu aku beri makan. Â Tetap tak bergerak. Â Semuanya setenang angin yang dipasung oleh kincir yang memutuskan bertapa.
Barangkali dengan bercakap-cakap aku bisa menemukan sedikit keramaian. Â Maka aku menggila. Â Semua benda di sekitarku menjadi lawan bicara.Â
Kepada pohon mangga aku meminta dia bercerita bagaimana cara mematangkan buah tepat pada waktunya. Â Kepada pagar kemuning aku suruh dia berkisah tentang wangi yang memberikan undangan datang rombongan kumbang. Â Kepada tumpukan pasir di pinggir sungai aku menanyakan pendapat tentang nasibnya yang harus terus menerus minggir karena tubuh sungainya semakin menyempit.
Tetap saja. Â Kegaduhan itu hanya sementara. Â Setelahnya aku bahkan lupa pada semua pertanyaanku. Â Termasuk juga untuk apa semua jawabannya bagiku. Â Buntu.
------
Aku lalu mencoba berlari di lapangan terbuka. Â Sekencang-kencangnya. Â Mungkin kelelahan cukup manjur untuk membuang kesunyian. Â Tak ada guna. Â Aku malah harus mengembalikan nafas yang aku buang percuma dengan menghirup udara sedalam-dalamnya. Â Paru-paruku hampir meledakkan ribuan kata-kata. Â Tanpa makna.
Bisa jadi pergi ke pantai adalah obat bagi kejemuan yang terus saja memaku-maku hatiku. Â Aku mendapati lautan sedang pasang. Â Menghanyutkan banyak keinginan seseorang yang tidak punya tujuan. Â Membawanya ke tengah lalu diserbu ikan pari yang sedang marah. Â Terkena bisa dari ekornya. Â Jadilah cita-citanya buyar seketika.
Sebaiknya aku menunggu malam. Â Bintang-bintang kata orang bisa mengobati kesunyian. Â Aku akan menghitung satu persatu. Â Kunamai dengan sebutan sesukaku. Â Bintang telanjang kalau dia serupa perenang. Â Bintang pelupa jika dia tidak nampak seutuhnya. Â Bintang sakit apabila cahayanya sedikit.
Sampai habis semua ujung langit aku tekan dengan telunjukku. Â Menamai bintang-bintang itu ternyata malah menambahkan kadar kesunyian sampai ke titik tertinggi. Â Ini mungkin karena membicarakan bintang sama dengan berharap untuk pulang. Â Kepada cinta yang dikira telah hilang. Â Kira-kira begitu. Â Kesimpulan yang sekali lagi melahirkan jemu.
Jalan terakhir aku memutuskan untuk merangkai labirin di jendela. Â Kalau aku bisa keluar dari kerumitannya, bisa saja kesunyian ini tak lagi menjadi berita yang terus mengiang di gendang telinga. Â Berita tentang badai yang tidak menghancurkan apa-apa kecuali isi kepala.
Jakarta, 9 Maret 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H