Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Setangkai Bunga di Pantai yang Diam

7 Maret 2018   16:47 Diperbarui: 7 Maret 2018   16:49 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: pixabay.com

Pernah dulu.  Ketika waktu masih seangkuh batu.  Kau mekarkan bunga di pagi yang masih terkantuk.  Wangimu lalu hanya bisa dirasakan sejauh lemparan asap periuk.  Aku memandangi bungamu dari kejauhan.  Takut mendekat sebab halamanmu dijaga begitu ketat.

Pernah kita.  Berdiri di pantai yang juga berbunga.  Tangkainya dari terumbu yang lepas dari lantai samudera.  Kelopaknya dari pecahan sisik barakuda.  Wanginya campuran antara garam dan puncak gelombang.  Aku serasa seperti anak hilang yang ditemukan.

Pantainya berdiam.  Lama.  Tak peduli betapa keributan sudah dimulai oleh angin.  Menerbangkan pasir-pasir kecil yang tak kuat bertumpu di pesisir yang rapuh.  Tersangkut di punggung bukit yang melepuh.  Terbakar kesunyian.  Karena memang tinggal jauh dari kegaduhan.

Setangkai bunga itu ikut berdiam.  Tidak lama.  Karena harus segera menghimpun wanginya dalam peti.  Esok hari akan datang seorang lelaki.  Dulu pernah bersama mencoret-coret mimpi yang belum jadi.

Jakarta, 7 Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun