Menyempatkan diri mengaduk peruntungan. Â Malam di ibukota ibarat meja judi. Â Siapa yang mau beruntung. Â Ditentukan oleh siapa yang bersedia buntung.
Tak peduli langit sedang murung.  Mengamati mendung terpelanting kesana kemari.  Apalagi hujan tak jadi.  Percuma menurunkan air untuk membasahi.  Kegerahan  sampai pada tingkat tertinggi.  Langit pun lebih memilih untuk patah hati.
Malam merambati trotoar dengan sangar. Â Mengabaikan selokan berbau samar. Â Menuju tikungan tempat lampu dan dentam musik hingar bingar. Â Kota lalu dipenuhi retakan-retakan hati. Â Tak ambil peduli.
Bilamana langit telah patah hati. Â Tak terbayangkan jika dilanjutkan dengan putus asa. Â Menggantung dirinya di padang alang-alang. Â Menjauh dari kota tak mau pulang.
Bagaimana nasib orang-orang esok hari. Â Tak ada langit yang melindungi dari sengat tajam matahari. Â Payung dan atap tak akan sanggup menahan. Â Tikaman cahaya yang mendidih setelah ozon roboh bergelimpangan.
Jakarta, 23 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H