Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Langit pun Memilih Patah Hati

23 Februari 2018   23:07 Diperbarui: 24 Februari 2018   14:19 467
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi Gitra Kiranawati P/Kompas

Menyempatkan diri mengaduk peruntungan.  Malam di ibukota ibarat meja judi.  Siapa yang mau beruntung.  Ditentukan oleh siapa yang bersedia buntung.

Tak peduli langit sedang murung.  Mengamati mendung terpelanting kesana kemari.  Apalagi hujan tak jadi.  Percuma menurunkan air untuk membasahi.  Kegerahan  sampai pada tingkat tertinggi.  Langit pun lebih memilih untuk patah hati.

Malam merambati trotoar dengan sangar.  Mengabaikan selokan berbau samar.  Menuju tikungan tempat lampu dan dentam musik hingar bingar.  Kota lalu dipenuhi retakan-retakan hati.  Tak ambil peduli.

Bilamana langit telah patah hati.  Tak terbayangkan jika dilanjutkan dengan putus asa.  Menggantung dirinya di padang alang-alang.  Menjauh dari kota tak mau pulang.

Bagaimana nasib orang-orang esok hari.  Tak ada langit yang melindungi dari sengat tajam matahari.  Payung dan atap tak akan sanggup menahan.  Tikaman cahaya yang mendidih setelah ozon roboh bergelimpangan.

Jakarta, 23 Februari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun