Pembicaraan itu semakin merasuk ke tema sesungguhnya. Â Lapangan bola ini akan dirubah menjadi sebuah mesjid megah oleh Pak Lurah setelah mendapatkan persetujuan dari Haji Dulah.Â
"Terus biaya pembangunannya darimana? Iuran warga?" pertanyaan itu keluar dari Pak Madun, orang paling vokal di kampung.
"Entahlah Pak. Â Tapi yang jelas itu adalah keputusan akhirnya," Lagi-lagi Bik Suli menjawab. Â Tetap dengan sigap.
Semua orang terdiam. Â Pilihan yang sulit. Â Surau adalah rumah Tuhan. Â Tidak boleh digugat sedikitpun. Â Dosa. Â Tapi bukankah di gang sebelah sudah ada mesjid cukup besar yang sanggup menampung seluruh desa sekalipun? Â Untuk apa membangun lagi yang baru?
-----
Sudah beberapa hari alat-alat berat bercokol di bekas lapangan bola itu. Â Tanah tempat kaki-kaki kecil dulu berlarian sekarang digali habis-habisan untuk tiang-tiang besar pondasi. Â Warga yang sebelumnya sempat protes kecil akhirnya memutuskan untuk pasrah setelah Pak Lurah dibantu oleh perangkatnya meyakinkan bahwa ini semua untuk kemaslahatan umat.
Anak-anak yang biasanya sepulang sekolah selalu menghabiskan waktu bermain di lapangan akhirnya beralih pada permainan lain yang paling mungkin. Â Permainan yang tidak lagi memerlukan ruang adalah video game atau gawai. Â Terjadilah pergeseran irama dari teriakan anak-anak di lapangan ke teriakan emak-emak di rumah.
"Andiiii, berhenti dulu main game. Â Bantuin ibu angkat jemuraaannn!"
"Topiiiikkk, ayo sini jaga adikmu. Â Ibu mau ke warung sebelah dulu."
"Kamu bener-bener nggak kenal waktu ya Rama? Ayo sana main di luar! Â Emak empet dari tadi lihat kamu cuma ngejogrok di kamar aja."
Suara teriakan silih berganti dari rumah ke rumah. Â Beraroma kemarahan, kejengkelan dan prasangka. Â Suasana kampung berubah 180 derajat. Â Dari riuh rendah permainan anak-anak menjadi hiruk pikuk teriakan ibu-ibu. Â Belum lagi tingkat kesabaran bapak-bapak diuji hingga titik tertinggi karena ibu-ibu yang sedang marah biasanya melarikan juga kepada suaminya.