Daripada jauh-jauh melamunkan air sungai yang keruh. Â Lebih baik aku menatap matamu yang sedang luruh. Â Menatap helai kemuning yang terjatuh. Â Disentuh lirih angin yang mengaduh.
Daripada menuntut punggung gunung yang mengeriput. Â Lebih baik aku menghindari kabut. Â Bersembunyi di tingginya rumput. Â Agar tak terlalu lama aku terhanyut dalam luput.
Daripada terbuai dalam romantika drama yang dipentaskan Rama dan Shinta. Â Lebih baik aku mengeja sebuah nama. Â Menulisnya dalam jajaran kata. Â Dilengkapi irama yang merajah rima.
Daripada termenung seperti daun pepaya dihantui tenung. Â Lebih baik aku mengurung semua letih di antara derai cemara yang murung. Â Ingat pada senyumanmu yang lupa kau sematkan pada saat malam belum juga rampung.
Daripada meragukan cinta akar kepada tanah yang setia memeluknya. Â Lebih baik aku mempercayakan cinta kepada perempuan yang telah menabrakkan mata di pantai yang terluka oleh angin tenggara. Â Kala ikan rawa berkejaran dengan seekor pemangsa yang entah darimana datangnya.
Daripada melamunkan sunyi yang lama kelamaan berapi. Â Lebih baik aku menanti sepotong senja tergelincir mati. Â Itu berarti aku memerlukan kau ada di sini untuk bersama menuliskan puisi.
Jakarta, 19 Februari 2018
 Â