Tengah malam belumlah tiba. Â Tapi kegelapan sudah benar-benar meraja. Â Pesan-pesan bersliweran. Â Dari binatang malam yang mensunyikan diri dengan tidak bersuara. Â Dari udara dingin yang menggigilkan hati dengan tidak mencantumkan pertanda apa-apa.
Saat nanti lonceng berdentang. Â Itu berarti si anak hilang telah pulang. Â Anak hilang yang dibawa sepertiga malam. Â Mengembarai kalimat dan ayat-ayat. Â Sampai dimana sebetulnya sekarang jauhnya kiamat.
Ketika gonggongan anjing yang ketakutan melihat bayangan berhenti. Â Maka itulah waktu yang tepat untuk kembali menggali. Â Serpihan diri yang dikumpulkan pelan-pelan. Â Setelah sesiangan mencumbui palsunya angan-angan. Â Sampai pada kesimpulan bahwa cermin yang retak adalah gambaran jiwa yang mengerak. Â Berikut semua lusuh dan letih yang dipaksa untuk beranak pinak.
Apabila tengah malam telah terlewati. Â Seketika itu juga rubuhlah separuh dari mimpi. Â Cukup untuk menjinakkan perangai yang dilahirkan dari dengkur tak berguna. Â Digantikan serenada yang tak usah lagi dimaniskan dengan guyuran gula.
Seumpama pagi menagih hutang janji. Â Sampaikan sederetan kata yang tercerabut dari dinihari. Â Telah dimulai perhitungan angka-angka satu sampai tiga. Â Waktu dimana mata ditujukan pada satu titik tanpa koma.
Jakarta, 7 Februari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H