Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menyalakan Pesan dalam Puisi

28 Januari 2018   10:37 Diperbarui: 28 Januari 2018   10:44 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Puisi yang dimulakan oleh hati yang hanya sanggup menduga. Sampai dimana pesan yang tadi dititipkan kepada elang. Apakah sudah sampai di penghujung senja. Atau memilih tersangkut di pucuk angsana.

Puisi ini ditulis tanpa sedikitpun menaruh syak wasangka. Kepada langit yang menyaksikan gempa datang tiba-tiba.  Lalu memalingkan muka tidak tega. Melihat tubuh terjerembab. Wajah-wajah mengeriput sembab.

Menyalakan puisi tidak perlu menggunakan api. Cukup dengan menggelengkan kepala berulangkali. Terhadap ketidakadilan. Terhadap ketidakpedulian. Terhadap ketidakacuhan. Maka apinya akan menyala setinggi pertahanan hati. Jadilah sebuah puisi yang membakar. Semangat, kasih dan cinta hingga berkobar.

Akhirnya pesan akan tersampaikan. Meski tidak secara lisan. Ini adalah pesan tentang kebenaran. Atau setidaknya pesan yang tidak dibungkus kerumitan.

Sampit, 27 Januari 2018

   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun