Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Mengembarai Bumi

20 Januari 2018   10:02 Diperbarui: 20 Januari 2018   10:07 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak urung aku menuliskan sunyi yang berlagak murung.  Seperti kesedihan kupu-kupu yang harus meninggalkan kepompongnya.  Tempat menghabiskan seperempat hidup dalam kasih yang tak pernah bertanya.  Sebelum mendermakan sayap-sayapnya pada hiruk pikuk dunia.  Seminggu lamanya.

Tak lupa aku menyajikan sarapan bagi kalimat yang begitu liarnya berkeliaran.  Minta untuk dituliskan.  Sebelum lenyap dalam senyap karena keburu hangus di perapian. 

Aku ingat harus memanaskan hati dan hari.  Jangan sampai gigil berhasil mendinginkan keinginan.  Bukan pada tempatnya aku memasung kegilaan terhadap keindahan. Semestinya bebas dilepaskan mengembarai bumi yang semakin jatuh dalam kesulitan.

Matahari tersembunyi.  Bukan sengaja bersembunyi.  Ada saat dimana sepi mesti mengambil alih.  Terlalu sering kepanasan membuat otak jadi mendidih.

Hai cinta.  Mau rasanya mengajakmu serta.  Menganggap dunia ini sedang gundah gulana.  Lalu kita berbaik hati menghiburnya.

Jakarta, 20 Januari 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun