Tak urung aku menuliskan sunyi yang berlagak murung. Â Seperti kesedihan kupu-kupu yang harus meninggalkan kepompongnya. Â Tempat menghabiskan seperempat hidup dalam kasih yang tak pernah bertanya. Â Sebelum mendermakan sayap-sayapnya pada hiruk pikuk dunia. Â Seminggu lamanya.
Tak lupa aku menyajikan sarapan bagi kalimat yang begitu liarnya berkeliaran. Â Minta untuk dituliskan. Â Sebelum lenyap dalam senyap karena keburu hangus di perapian.Â
Aku ingat harus memanaskan hati dan hari. Â Jangan sampai gigil berhasil mendinginkan keinginan. Â Bukan pada tempatnya aku memasung kegilaan terhadap keindahan. Semestinya bebas dilepaskan mengembarai bumi yang semakin jatuh dalam kesulitan.
Matahari tersembunyi. Â Bukan sengaja bersembunyi. Â Ada saat dimana sepi mesti mengambil alih. Â Terlalu sering kepanasan membuat otak jadi mendidih.
Hai cinta. Â Mau rasanya mengajakmu serta. Â Menganggap dunia ini sedang gundah gulana. Â Lalu kita berbaik hati menghiburnya.
Jakarta, 20 Januari 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H