Hanya ada tujuh bintang
Itupun berpencaran
Menyudut masing masing
Mengambil tempat sesuai garis
Bintang pertama meneteskan airmata; kesepian
Terlalu lama aku mencintai malam. Â Ijinkan aku bercanda dengan siang.
Bintang kedua menyahut tanpa sedikitpun belas kasihan; nadanya kejam
Kau peratap yang merasa malang! Â Buat apa airmata untuk hal yang sia sia?
Bintang ketiga menutupi muka tak sanggup melihat pertengkaran; julukannya adalah sang pengiba
Berhentilah. Â Bukankah lebih baik jika kita menikmati apapun yang disajikan bumi?
Bintang keempat menatap tanpa mengerjap lalu diam namun sempat menggumam; lirih dan mencekam
Jika saja ada awan paling hitam. Â Aku akan datang mengundangnya agar menutupi keluhan kalian.
Bintang kelima menyalakan tubuhnya berniat memancarkan cahaya sebagai pemenang; nama depannya adalah ambisi
Pandanglah aku, betapa cahayaku adalah pesaing pagi. Â aku akan menaklukkan matahari. Â Tak lama lagi.
Bintang keenam menundukkan muka memperhatikan ada manusia berlarian menghindari duka; berniat menghibur
Simpan dukamu di rumpun bambu. Â Biarkan angin menepikannya dari sayatan sembilu.
Bintang ketujuh meraih langit di sekitarnya kemudian melukis butir butir kapas; penuh syukur
Mencintai malam bukanlah meratap namun tetap sebagai penikmat hitam. Â Membiarkannya menyalakan rasa kasih yang kini banyak terlunta lunta. Dengan cara menggunakan cahaya. Menerangi mata air yang tergelincir. Â Mengikuti kemana arah matahari pergi.
Tujuh bintang
Tak lagi berpencaran
Bersepakat satu kalimat tujuan
Rumah mereka adalah malam
Jakarta, 24 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H