Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menjadi Wayang

21 Agustus 2017   07:15 Diperbarui: 21 Agustus 2017   07:22 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinihari lagi.  Aku masih belum siap untuk mengemas mata.  Cukup banyak hal hal berkeliaran di dalam benak.  Mulai dari senja yang merangkak. Awan beranak pinak. Hingga cermin yang tertawa terbahak bahak.  Mentertawakan kebingunganku secara sontak.

Belum cukup? Maka lihatlah aku terpaku pada hati yang merona.  Mirip sekali dengan pipi memerah seorang nona karena disapa cinta. Ini sebenarnya lelakon apa? Dalam satu detik aku jadi sengkuni detik yang lain aku jadi arjuna.

Maka jadilah pagi membangunkan aku sebagai wayang.  Pikiran tersandera dalam bayang-bayang.  Kaki dan tangan hanya bambu yang menopang. Meringkuk dalam kotak kayu berpalang.  Menunggu Sang Dalang datang.

Jakarta, 21 Agustus 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun