Lagi lagi dinihari. Â Aku menyerah pada paksaan mata untuk menidurkan mimpi saja. Â Dia membuatku memilih untuk terjaga. Â Padahal aku sempat terlelap. Â Menikmati sejenak suaramu menyanyikan teung teuingan. Â Sebuah lagu lama penyesap kenangan.
Aku melihat sekeliling. Â Sel sel udara sedang hening. Â Hanya lirih terdengar gemerisik bambu kuning menjatuhkan daun daun kering. Â Malam tampak tak bergerak. Â Mungkin karena gelap sedang berkuasa sepenuhnya. Â Cahaya bulan sedang berteduh di antariksa nun jauh di sana.Â
Neng, aku ingin menuliskan beberapa kalimat yang sekarang sedang berusaha menggapai sisi benakku. Â Ternyata lebih mudah menyusut peluh daripada menghilangkan keluh. Â Lebih gampang melepas lelah daripada meniadakan resah. Â Ini bukan falsafah hidup. Â Ini adalah kenyataan hidup. Dan memang terasa redup.
Aku tahu. Â Kedengarannya sama sekali tidak bersemangat. Â Sedangkan aku selalu ingin menuliskan kalimat kalimat penyemangat. Â Tapi percayalah, semangat terkadang bangkit dari sisi kelam, setelah melihat ada setitik cahaya jauh di depan. Â Sesungguhnya, itu adalah isyarat tentang sebuah tuntunan.
Jakarta, 6 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H