Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Surat ke duapuluh Lima untuk Neng

28 Juni 2017   16:20 Diperbarui: 28 Juni 2017   16:21 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Neng, ini hari ketiga lebaran.  Bukannya aku lupa untuk meminta maaf di hari pertama dan kedua.  Tapi aku sedang mengumpulkan keping keping kesalahan yang telah aku perbuat.  Aku tidak ingin ada sedikitpun khilaf yang terlewat.  Sehingga masuk bulan berikutnya aku tak lagi membawanya di bahuku.  Aku ingin mengibaratkan sebuah perjalanan yang selalu saja menyertakan kesalahan dalam kelok likunya.

Seperti air,  merembes dari celah celah batu.  Menetes di hulu sebuah mata air kecil.  Berpegang pada akar pepohonan yang mencengkeram tanah dengan kekar.  Mengalir perlahan menyusuri pematang gunung.  Berkumpul bersama aliran kecil lain menjadi sungai kecil.  Yang lalu meluncurkan gemericik menuju sungai besar bersama gemericik lain dari arah yang juga lain.

Sungai besar itu mengelus pinggang gunung dengan kebasahan sederhana bagi pohon pohonnya.  Ketika hatinya setenang bulan, airnya menyanyikan tentang temaram di lubuk pendiam.  Saat amarahnya menggelegak, airnya menyapu dinding tebing.  Menggerus ribuan remah tanah bersamanya.  Mengaduk tubuhnya menjadi lumpur kecoklatan.

Nyanyian sungai berubah menjadi gemuruh.  Laksana guruh sedang berpeluh peluh.  Melewati kampung dan sawah ladang.  Sambil membawa serta isinya sebagian.  Mungkin sepotong tiang rumah.  Barangkali sepetak padi menguning.  Bisa saja beberapa ekor kambing.  Bahkan terkadang manusia manusia yang lengah ikut hanyut terpelanting.

Neng, semakin ke hilir alirannya semakin meraksasa.  Apalagi jika hujan juga membawa balatentara.  Akhirnya merendam seisi kota.  Memotong jalan jalan.  Menyisakan sampah dan bau serapah setelahnya.  Sebelum akhirnya sampai dalam dekapan kekasih sejatinya di muara.  Melebur bersama asinnya garam lautan.  Untuk mengerti bahwa lumpur dan asam dari gunung yang dibawanya kalah kuasa.

Itulah yang aku maksud neng.  Terkadang kesalahan terjadi karena memang harus terjadi.  Terkadang kesalahan juga terjadi karena tidak bisa diihindari.  Hanya kita yang tahu agar tidak menumpuk kesalahan hingga berpeti peti.  Sebab maaf belum tentu tersedia satu laci.

Aku sudah mengumpulkan ingat apa salahku padamu neng.  Aku kikis satu demi satu dari sejarah dan kenangan.  Tidak sampai satu peti.  Aku yakin kamu punya maaf sebesar bumi.  Maafkan aku, selamat Idul Fitri.

Bogor, 28 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun