Neng, ini hari ketiga lebaran. Â Bukannya aku lupa untuk meminta maaf di hari pertama dan kedua. Â Tapi aku sedang mengumpulkan keping keping kesalahan yang telah aku perbuat. Â Aku tidak ingin ada sedikitpun khilaf yang terlewat. Â Sehingga masuk bulan berikutnya aku tak lagi membawanya di bahuku. Â Aku ingin mengibaratkan sebuah perjalanan yang selalu saja menyertakan kesalahan dalam kelok likunya.
Seperti air, Â merembes dari celah celah batu. Â Menetes di hulu sebuah mata air kecil. Â Berpegang pada akar pepohonan yang mencengkeram tanah dengan kekar. Â Mengalir perlahan menyusuri pematang gunung. Â Berkumpul bersama aliran kecil lain menjadi sungai kecil. Â Yang lalu meluncurkan gemericik menuju sungai besar bersama gemericik lain dari arah yang juga lain.
Sungai besar itu mengelus pinggang gunung dengan kebasahan sederhana bagi pohon pohonnya. Â Ketika hatinya setenang bulan, airnya menyanyikan tentang temaram di lubuk pendiam. Â Saat amarahnya menggelegak, airnya menyapu dinding tebing. Â Menggerus ribuan remah tanah bersamanya. Â Mengaduk tubuhnya menjadi lumpur kecoklatan.
Nyanyian sungai berubah menjadi gemuruh. Â Laksana guruh sedang berpeluh peluh. Â Melewati kampung dan sawah ladang. Â Sambil membawa serta isinya sebagian. Â Mungkin sepotong tiang rumah. Â Barangkali sepetak padi menguning. Â Bisa saja beberapa ekor kambing. Â Bahkan terkadang manusia manusia yang lengah ikut hanyut terpelanting.
Neng, semakin ke hilir alirannya semakin meraksasa. Â Apalagi jika hujan juga membawa balatentara. Â Akhirnya merendam seisi kota. Â Memotong jalan jalan. Â Menyisakan sampah dan bau serapah setelahnya. Â Sebelum akhirnya sampai dalam dekapan kekasih sejatinya di muara. Â Melebur bersama asinnya garam lautan. Â Untuk mengerti bahwa lumpur dan asam dari gunung yang dibawanya kalah kuasa.
Itulah yang aku maksud neng. Â Terkadang kesalahan terjadi karena memang harus terjadi. Â Terkadang kesalahan juga terjadi karena tidak bisa diihindari. Â Hanya kita yang tahu agar tidak menumpuk kesalahan hingga berpeti peti. Â Sebab maaf belum tentu tersedia satu laci.
Aku sudah mengumpulkan ingat apa salahku padamu neng. Â Aku kikis satu demi satu dari sejarah dan kenangan. Â Tidak sampai satu peti. Â Aku yakin kamu punya maaf sebesar bumi. Â Maafkan aku, selamat Idul Fitri.
Bogor, 28 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H