Di titik tempat kita berada sekarang. Â Beberapa pasang mata selalu mengikuti dengan tekun. Â Kita bergerak, maka mereka juga bergerak. Â Kita bergeser mereka juga ikut bergeser.
Semua gerak gerik kita tidak pernah lepas dari penanda mereka. Â Kita menjadi angka angka yang panjang di mata mereka. Â Tidak ada artinya bagi kita tapi sangat bermakna bagi mereka. Â Â
Kita ingin mendengarkan radio kesayangan. Â Mencari cari frekuensi. Â Mereka tak punya telinga tapi tahu persis kita sedang mendengarkan apa. Mereka tahu kesukaan kita adalah Queen, Beatles atau Dangdut Koplo.
Kita ingin menonton acara olahraga favorit. Â Menggeser geser chanel. Â Mereka tidak ikut menyaksikan tapi tahu benar apa yang sedang kita tonton. Â Mereka tahu klub sepakbola kesayangan kita adalah Chelsea, Barcelona atau Universidad de Catolica.
Mereka tahu kalau kita tidak suka berita. Â Berita selalu menayangkan hal hal buruk yang semakin memperparah suasana hati kita. Â Tapi mereka juga tahu bahwa kita terpaksa mengikuti apa yang terjadi di Aleppo, Mosul dan Palestina.
Satu satunya yang tidak mereka tahu adalah seperti apa keadaan batin kita. Â Terhadap cinta. Â mereka tidak bisa mengikuti irama hati. Â Mereka hanya tahu kita sedang menuju ke sebuah pemakaman. Â Mereka tahu persis berapa jumlah makam yang ada di situ. Â Mereka juga lebih tahu dari juru kunci makam tentang jumlah tulang belulang yang tertanam di bawah tanah pemakaman. Â Mereka bisa menghitung dengan akurat berapa jumlah jasad manusia di situ.
Yang mereka tidak tahu adalah kita sedang meneteskan airmata di depan sebuah makam bertuliskan; Ibu. Â Mereka juga tidak tahu bahwa kita sedang menata keping keping hati yang berantakan teringat akan dosa terhadap ibu. Â Mereka tidak paham bahwa kita sedang menangiskan sebuah kerinduan terhadap sosok manusia yang dulu melahirkan dan membesarkan kita. Â Mereka sama sekali tidak tahu. Â Mereka tidak punya rasa itu.
Mereka tahu kita sedang bergerak menyusuri trotoar jalanan. Â Mereka tahu persis berapa jumlah lubang di trotoar itu. Â Mereka sangat tahu berapa jumlah pohon mati di sisi jalan. Â Mereka juga tahu bahwa sebentar lagi kita akan sampai di depan sebuah rumah dengan kubah di atasnya. Â Mereka bisa mengukur bulatan kubah itu secara presisi. Â
Mereka tahu kita sedang tidak bergerak dari sebuah posisi. Â Mereka tahu kita sedang bersedekap, menunduk dan mencium lantai. Â Mereka tahu secara tepat berapa jumlah keramik yang melapisi lantai. Â Tapi, mereka hanya tidak tahu ketika kita selesai membasuhkan air di beberapa bagian tubuh, kita terpekur, lalu kita mengangkat tangan berdo'a kepada yang membuat hidup. Â Mereka tidak tahu apa yang sedang kita lakukan. Â Mereka tidak tahu bahwa kita sedang menyerahkan segenap hati kepada pemilik kehidupan.
Mereka juga tahu kita sedang bergerak menuju sebuah rumah. Â Dengan alamat yang tepat. Â Hanya saja mereka tidak tahu bahwa kita hanya sedang berdiri beberapa depa di depan rumah itu. Â mereka tidak tahu bahwa kita sedang menyiapkan sebuah rencana. Â Untuk mengetuk pintu itu. Â Lalu saat pelukan pelukan berhamburan, mereka tidak tahu bahwa kita sedang menatap mereka yang mengasihi kemudian kita bilang I love you. Â Mereka sama sekali tidak punya rasa untuk itu.
Mereka tahu kita tidak bisa sembunyi dari mereka. Â Meski kita coba menggali lubang hingga menembus inti bumi. Â Atau menyelam hingga dasar palung terdalam. Â Atau berlindung di balik kabut tebal pegunungan. Â Mereka selalu tahu kita berada di mana. Â Mereka akan selalu memata matai kita. Â Selamanya. Â Tapi tidak hati kita. Â Tidak cinta kita. Â Mereka tak akan pernah tahu.Â
Koordinat itu adalah angka angka yang menjelajahi kita. Â Koordinat itu angka angka yang tidak kita sadari menjajah kita. Â Dan kita tidak bisa bersembunyi dari mereka. Â Tidak ada rahasia lagi bagi mereka. Â Kecuali kebenaran di hati kita.
Jakarta, 19 Juni 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H