Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jemu

17 Juni 2017   04:40 Diperbarui: 17 Juni 2017   04:44 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertemuan itu membuatnya jemu.  Hanya kalimat kalimat basa basi yang menanyakan apakah dia sehat sehat saja.  Berapa anaknya.  Istrinya orang mana.  Sekarang kamu kerja dimana.  Benar benar jemu.

Dia ingin orang bertanya kepadanya, apakah kamu masih waras atau sudah gila.  Itu rasanya lebih bisa membuatnya bersemangat menjawab. Karena sesudahnya pastilah meledak segala lelucon yang lucu, yang biasa saja, yang porno, yang bersastra, atau yang berulama.

Dia ingin memilih pertemuan apa yang seharusnya dia datangi.  Yang tentu saja tidak bisa.  Dia tidak disodori banyak pilihan.  Dia hanya mendapatkan keterpaksaan.  Karena tugas, karena pertemanan, karena ajakan sosial, karena undangan undangan.

Apa tidak sebaiknya dia menghindar saja dari semua pertemuan.  Itu, untuk menghindari jemu.  Ini rasanya juga tidak mungkin.  Dia manusia yang ditakdirkan hidup dengan manusia lainnya.  Pertemuan itu bisa terjadi kapan saja.  Bertemu dengan pencopet yang pura pura kecopetan.  Ini mengharuskan dia diam saja.  Bisa bahaya kalau dia menjadi orang yang berteriak pertama.  Kalau tidak babak belur, tentu saja dia akan menjadi sasaran berikutnya yang tidak dia duga kapan waktunya.

Bertemu dengan pejabat penting saat ada pelatihan.  Ini mengharuskan dia berkali kali mengangguk angguk takzim.  Mengerikan akibatnya jika tidak.  Atasannya akan dengan mudah memelorotkan jabatannya karena menganggap dia tidak sopan kepada penguasa.

Bertemu dengan gadis cantik yang berpakaian sangat mini.  Membuatnya lupa bahwa memalingkan kepala adalah pilihan tepat.  Karena bisa saja dia tersandung atau kejedot pintu.  Itu kan bikin malu.

Selalu ada pertemuan.  Dijadwalkan atau tidak.  Sengaja atau tidak.  Dunia akan selalu mengatur terjadinya pertemuan.  Dia tidak bisa mengelak. 

Lain kali dia akan mengatur hati dan pikiran.  Bagaimana agar tidak menjadi jemu saat terjadi pertemuan.  Barangkali dia belajar saja ilmu pura pura dan kira kira.  Pura pura bahwa semuanya baik baik saja ketika orang banyak bertanya.  Lalu membuat jawaban yang kira kira tidak menjemukan baginya.  Tapi menjemukan bagi orang yang bertanya. 

Begitulah saja.  Dia akan melempar semua jemu kepada sekitarnya.  Biarlah orang menjadi jemu.  Lalu enggan melemparkan pertanyaan.  Biarlah udara menjadi jemu.  Lalu tak berniat lagi menjadi badai.  Biarlah pepohonan menjadi jemu.  Lalu tak mau lagi menyerap karbondioksida.  Biarlah langit menjadi jemu.  Lalu enggan menciptakan senja. 

Bogor, 17 Juni 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun