Daman menatap kerumunan orang di sekitarnya dengan wajah bertanya tanya. Â Ayahnya terpekur menutupi muka. Â Ibunya menciptakan danau tangisan di matanya yang teduh. Dina, kakak perempuannya memegangi tangannya dengan wajah membadaikan mendung dan hujan. Â Beberapa orang lainnya di ruangan itu kurang lebih sama. Â Murung dan bersedih.
Daman berusaha menggerakkan bibir untuk menghibur mereka. Â Tak satupun suara terdengar. Â Daman terperanjat. Â Bibirnya membantah perintah! Â Dia lalu berusaha menggerakkan tangannya untuk balik menggenggam tangan ibunya. Â Tak satu ruaspun jari bergerak. Â Daman tertegun. Â Urat syarafnya juga tak mematuhi perintah!
Daman mengedarkan pandangan ke sekeliling. Â Semua warna putih belaka. Â Bahkan baju yang dia pakai sekarang putih. Â Bukankah seingatnya dia memakai baju biru rumah sakit? Rumah sakit! Daman seperti terbangunkan oleh sebuah ingatan. Â Terakhir yang dia ingat adalah dia tergeletak di sebuah ranjang beroda yang didorong terburu buru oleh beberapa suster cantik. Â Setelah beberapa saat sebelumnya dia menancapkan ujung jarum berisi heroin di kamar kosnya yang megah.
--------
Paling tidak ya Tuhan! Â Ijinkan aku untuk berpamit kepada mereka. Â Menitikkan dua tetes air mata penyesalan kepada mereka. Â Menunjukkan bahwa dia sebenarnya sayang kepada mereka. Â Mengatakan dengan isyarat bahwa apa yang dia lakukan adalah tindakan tak semestinya. Â Menyia nyiakan kepercayaan mereka.
Daman berusaha sekuatnya memaksa matanya mengalirkan airmata. Â Tidak bisa. Â Sedikitpun tidak ada reaksi dari tubuhnya. Â Otaknya sudah mati. Â Dia entah berada di mana. Â Bisa melihat mereka tapi mereka hanya melihatnya terbujur kaku di ranjang perawatan rumah sakit. Â Daman seperti terhempas pada kenyataan yang memerihkan.
Dia sudah mati! Semua orang sedang menangisinya. Â Semua sedang bersedih kehilangan dia. Â Padahal selama ini dia tidak mempedulikan mereka. Â Selama ini dia tidak merasa kehilangan mereka yang selalu berusaha membantu mengingatkan, menasehati, memberi pesan. Â Sama sekali tak dia hiraukan.
Daman melayangkan sekelumit kisah buruknya ke depan matanya yang sudah tak sanggup berkedip lagi. Â Pemuda kaya yang berlagak frustasi karena tidak diterima di perguruan tinggi favoritnya. Â Pemuda kaya yang berlagak frustasi karena pujaan hatinya lebih menerima Anto yang miskin. Â Pemuda kaya yang berlagak frustasi karena merajuk merasa kekurangan kasih sayang ayah bundanya. Â Daman menghela nafas yang sama sekali tidak menyerupai nafas. Â Dia memang bodoh. Â Melarikan semua pada benda yang jauh lebih bodoh. Â Narkoba.
Dia menjadikan narkoba sebagai tempat kuliah favoritnya. Â Membuat narkoba sebagai kekasihnya. Â Menyangka narkoba sebagai tempat limpahan kasih sayangnya. Â Saat itu dia merasa benar. Â Narkoba membuatnya melupakan pahit yang merajam. Â Dia merasakan manisnya hidup tak terkira. Â Apalagi uang bukan masalah baginya. Â Ayahnya kaya raya dan dia bisa mendapatkan jumlah uang yang diminta semaunya. Â Ya Tuhan, ijinkan aku berairmata untuk mereka! Â Batin Daman memohon sungguh sungguh.
Ijinkan aku meminta maaf kepada ibuku. Â Untuk semua nyawa yang dia pertaruhkan saat melahirkan aku. Â Untuk semua darah yang dia tumpahkan demi lelaki kecilnya. Â Untuk semua air susu yang dia persembahkan bagi buah hatinya. Â Untuk semua hal yang menggerogoti hatinya semenjak dia mulai dewasa.
Ijinkan aku meminta maaf kepada ayahku. Â Untuk semua keringat yang dia banjirkan pada siangnya. Â Untuk semua lengan kokoh yang selalu merengkuhnya dalam pelukan saat dia menangis karena terjatuh dari sepeda, atau kehilangan mainan, atau meminta mainan. Â Untuk tatapan mata penuh kasih ketika dia berangkat pamit untuk kuliah di Yogya, tempat dia berencana menghabiskan semua petualangan masa mudanya.