Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suara Seruling Dini Hari

2 Juni 2017   23:12 Diperbarui: 2 Juni 2017   23:28 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara seruling itu terdengar menyayat hati.  Mengiris iris perasaan sampai terasa seperti luka yang dituangi oleh cuka.  Antien sampai harus memegangi kepala dan sekuatnya mencoba menutupi telinga.  Tiupan pada serulingnya sebenarnya sangat merdu.  Indah mempesona.  Tapi karena nada yang dibawakannya adalah nada patah hati yang sedemikian dalam, maka suasana malam pun terasa sekali mencekam. 

Antien membuka tangannya untuk memastikan suara seruling itu telah benar benar menghilang.  Dia benar benar tidak tahan.  Bisa bisa dia pingsan.  Apalagi dia sedang sendirian sekarang.  Dita, Wira dan Uda sedang turun ke bawah mencari perbekalan untuk malam ini.  Antien dengan gayanya yang biasa pemberani, tidak mau ikut.  Capek dan pengen santai rebahan katanya.

Villa ini sangat terpencil.  Berada paling ujung di ujung jalan buntu.  Tidak ada lagi jalan ke atas.  Hanya hutan pinus dan rimba di sebelah sana.  Untuk mencapai villa ini pun tadi siang, harus berliku liku melewati jalanan lembah dan bukit yang serasa tak habis habis.

------

Ketiga temannya sudah datang.  Antien bernafas lega.  suara seruling malam malam begini sangat mengganggu keberaniannya.  Antien sengaja tidak bercerita kepada teman temannya.  Biarlah mereka tahu sendiri nantinya. 

Keempat sahabat ini asyik bercerita.  Ini hari libur kuliah.  Mereka sengaja menyepi bersama sama di sini.  Keempatnya punya hoby yang sama.  Suka menulis.  Mereka aktivis jurnalis kampus.  Mereka sedang menyatukan inspirasi dan semangat untuk membuat majalah kampus yang digagas untuk bisa terbit dalam waktu dekat.

Sampai tengah malam mereka berbincang dan berdiskusi.  Merancang penerbitan majalah.  Tema temanya seperti apa.  Narasumber yang paling tepat siapa. Dan tentu saja, harus ada sebuah gong cerita yang sangat menarik siapapun untuk membaca.

Bunyi lonceng di villa kecil namun mewah itu berdentang menyapa pukul duabelas malam.  Suaranya bergema memenuhi lereng tempat villa itu berada.  Tepat ketika suara seruling itu kemudian meraungkan nada nada beringas tak putus putus.  Keempat sahabat itu terperangah.  Suara seruling itu tidak membuat merinding.  Namun seperti mengajak mereka untuk berdiri lalu berdansa penuh murka.

Mendadak suara seruling itu terputus.  Antien dan teman temannya masih bergemuruh dadanya karena suara seruling yang pertama.  Sehingga ketika suara seruling itu seketika berhenti.  Jantung mereka seolah dibawa melorot hingga ke perut. Nada nada yang dimainkan seruling itu seperti magis yang sedang dimainkan oleh seorang yang sangat bersemangat namun kemudian jatuh dalam putus asa.

------

Keempatnya saling berpandangan.  Suara seruling itu tidak mungkin suara gaib.  Mereka mendengarnya bersama sama.  Atau mungkinkah itu suara setan yang lupa dikandangkan?  Pikiran pikiran itu bersliweran di kepala mereka.

Sekali lagi mereka terperangah.  Suara seruling itu kembali mendatangi telinga.  Kali ini nadanya lirih melambai hati.  Menyedihkan.  Mirip nada orang yang ditinggal pergi jauh oleh orang yang dikasihi.  Antien dan Dita bahkan berkaca kaca kedua matanya.  Sedangkan kedua pemuda menundukkan kepala.  Meresapi nada nada yang membetot sukma.

Wira dan Uda berdiri berbarengan.  Kedua pemuda itu tidak tahan.  Mereka akan mencari sumber suara itu.  Ini harus dihentikan.  Bukan ketenangan dan inspirasi yang mereka dapatkan, tapi malah misteri yang membuat mereka bingung dan ketakutan.

Antien dan Dieta keberatan ditinggal.  Berempat mereka menuruni tangga villa menuju arah suara seruling.  Semakin dekat, suara seruling itu sepertinya berasal dari rumah di dekat jembatan berjarak beberapa rumah dari villa mereka. 

------

Keempatnya sekarang berdiri di depan rumah kecil namun asri.  Berbagai macam bunga tumbuh dan ditanam di halaman mungil itu.  Suara seruling itu perlahan lahan mereda.  Hening lalu menguasai.  Keempat muda mudi itu ragu ragu.  Apa yang harus mereka lakukan sekarang?  Mengetuk pintu atau meninggalkan tempat itu. 

Pintu rumah mungil itu terbuka.  Seorang gadis kecil melambai ke arah mereka.  Di belakangnya berdiri seorang laki laki tua yang tersenyum sambil mempersilahkan mereka masuk.

Undangan ramah itu tentu saja tidak sopan jika ditinggalkan.  Selain itu keempatnya, terutama Antien, sangat penasaran ada cerita apa di balik suara seruling berbeda nada yang menggema malam malam.  Apakah mereka berdua selalu meniup seruling setiap malam.  Atau pas kebetulan saja saat keempatnya sedang berada di sekitar sana.

-----

Si kakek, sambil menimang serulingnya, duduk di samping cucu perempuannya, namanya Genta, juga sedang menimang serulingnya. Langsung saja bercerita tanpa ditanya.

Genta sudah yatim piatu sejak kecil.  Ayahnya adalah seorang sopir mobil angkutan kota yang meninggal saat terjadi ledakan bom di Jakarta.  Seorang korban ikutan yang kebetulan berada di tempat dan waktu yang tidak tepat.  Ibu Genta adalah seorang perawat di kampung.  Mengabdikan hidupnya pada hidup dan kehidupan.  Termasuk menyerahkan hidupnya saat hendak menuju rumah seorang wanita yang hendak melahirkan dan dibantu proses persalinannya.  Mobil yang menjemputnya terkubur dalam longsor yang terjadi di tengah perjalanan.

Genta dibesarkan oleh kakeknya.  Tumbuh menjadi seorang gadis kecil yang dipenuhi angan angan dan kerinduan.  Kasih sayang ayah dan ibu.  Sang kakek mencoba menghiburnya dengan menanam berbagai macam bunga di halaman. Mengatakan bahwa kasih sang ayah telah dititipkan di bunga kamboja.  Sayang sang ibu ada di wangi melati. 

Sang kakek juga selalu berpesan.  Dalam nada seruling yang diajarkan kepada cucunya, ada berbagai nada yang bisa membuat kerinduannya pada sang ayah dan sang ibu bisa tersampaikan. 

Nada keras dan menghentak hentak adalah bentuk kerinduan pada sang ayah yang menjadi korban kebrutalan tidak pada tempatnya.  Nada lembut menyayat hati adalah wujud kerinduannya pada sang ibu yang berpulang dalam baktinya.

Genta juga meyakini satu hal yang tidak diajarkan oleh kakeknya.  Ketika serulingnya merindukan sang ayah, kamboja akan berbunga keesokan harinya.  Saat serulingnya menyanyikan kerinduan pada sang ibu, melati akan berbunga secepat cepatnya.

Beberapa malam ini Genta bergantian menyanyikan kerinduan untuk ayah dan ibunya dengan serulingnya.  Gadis kecil ini berada pada puncak kerinduan karena lebaran tak lama lagi tiba.  Selalu begitu.  Kerinduan seorang anak yang ingin mencium kedua tangan ayah ibunya saat selesai pulang sholat Ied.

------

Sang kakek menyelesaikan semua cerita dan ditutup suara seruling menyayat hati dari Genta.  Gadis kecil itu sudah berada di pembaringan.  Nada serulingnya seolah olah mengundang sang ibu datang dan memeluknya sampai dia tertidur.

Sang kakek mengusap kedua matanya yang basah.  Diikuti oleh Antien dan Dita.  Selanjutnya Wira dan Uda. 

Keempatnya lalu berpamitan dengan masing masing menitipkan hati untuk Genta.  Keluar rumah disambut oleh bermekarannya kamboja dan semerbak wangi melati. 

Sembari melangkah kembali ke villa, keempatnya berjalan tanpa berkata kata.  Sepakat bahwa tidak sia sia mereka melakukan perjalanan ini.  Majalah kampus mereka mendapatkan inspirasi dari surga.

------

Bogor, 2 Juni 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun