Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elang Garuda Terbang Tak Lelah

1 Juni 2017   21:51 Diperbarui: 1 Juni 2017   22:32 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sayapnya terentang selebar lebarnya.  Satu persatu pulau dikunjunginya.  Sang Elang ingin membukukan sejarah.  Pulau pulau itu tempat bersarang anak anaknya.  Tersebar beribu ribu.  Memeriksa adakah yang koyak atau patah.  Sambil membawa pulut dan getah untuk menambal jikapun ada yang koyak atau patah.

Elang itu sadar.  Perjalanannya taklah mudah.  Barangkali bukan kebetulan jika peluru peluru hendak menyambarnya.  Berisi mesiu mesiu perpecahan, adu domba  dan keretakan.  Elang itu lebih dari sadar.  Peluru bisa berasal dari senapan angin, atau meriam meriam berkaliber besar.  Berniat membuat kekacauan dari banyak hal.  Ekonomi yang dijungkirbalikkan, sumberdaya alam yang dihambur hamburkan, persatuan yang dibelah belah menggunakan sayatan pisau mematikan atas nama perbedaan.

Angin mendorongnya lebih bersabar.  Angin juga menahannya agar tetap berjuang.  Angin kecil tidak bisa membuatnya lebih cepat terbang.  Perlu waktu lebih dari perjanjian abad untuk bisa utuh memeriksa belasan ribu sarang anak anaknya.  Perlu bantuan semangat Majapahit dan Sriwijaya agar tetap bertahan membelah langit. 

Angin membadai bisa mendorongnya jauh lebih cepat.  Tapi juga beresiko menghempasnya berkeping keping.  Jika tak meminjam kekuatan yang dikirim oleh Tari Saman menggetarkan, Tari Kemban Bidudari mendebarkan, Tari Ketuk Tilu menggairahkan, Tari Serimpi memimpikan, Tari Suanggi mencengangkan, dan ribuan lagi tari nusantara yang mendarahi sayapnya hingga tak pernah melemah.

Panas yang menghentak adalah halangan perjalanan berikutnya. Matahari bisa ramah bisa juga berulah.  Sayapnya bisa terhangatkan bisa juga terbakar.  Elang itu banyak berharap pada kehebatan rahim rahim tradisi yang melahirkan banyak hal hal hebat.  Melangkah bertelanjang kaki memasuki hutan untuk mencari buruan, bukanlah keajaiban bagi suku suku di Kalimantan.  Menyelam tanpa alat pengaman, menombak ikan dengan hulu nafas dikatupkan, adalah hal biasa bagi suku suku di Maluku.  Elang perlu tulang tulang para penakluk alam.  Agar bisa membuat perjalanannya sekukuh karang di Banda dan Arafuru.

Hujan.  Bisa membuat sayapnya memberat basah.  Membuatnya terbang begitu rendah.  Banyak pemburu tak berkepala tak berhati mengincarnya di ketinggian ini.  Anak anak panah yang dibaluri bisa dan racun dari bangsa bangsa yang tak enak hati,  bisa membuatnya terjungkal berkali kali. Elang itu perlu pertahanan diri yang berasal dari ilmu bela diri sejati bangsa ini.  Pencak silat Macan, Cimande, dan Setia Hati Teratai, bisa membuatnya menjadi tak terkalahkan lagi. 

Halilintar bukanlah perkara mudah untuk dihindari.  Dia berada satu jengkal dari sambaran yang mematikan.  Menghanguskan jati diri dan harga diri.  Meletakkan mata tajamnya di antara para inlander yang masih tersisa.  Menumpulkan paruh tajamnya menjadi ranting kecil yang terjatuh di bawah cemara hampir mati.  Elang itu mahir berliku liku menghindari awan hitam.  Selama tidak digaduhi oleh perbicangan yang mirip pertengkaran, atau adu mulut tak berujung tak berkesudahan.

Elang itu terus membubung tinggi.  Separuh sarang anak anaknya telah terlampaui. Tapi ini masih jauh dari usai.  Banyak hal yang dilihatnya butuh perjuangan untuk memberi rasa keadilan.  Tidak boleh ada membeda bedakan perlakuan.  Pembangunan bukanlah hubungan kekeluargaan. Ada anak kandung dan anak tiri. Semuanya sedarah dan sejantung.  Jalanan mulus tak berlubang mestinya milik bersama.  Pelabuhan cantik dengan darmaga tak goyang mestinya ada di mana mana.  Bandar udara kecil maupun besar bisa membuka silaturahmi kekal tak beriri ataupun dengki.  Mendidik anak anak negeri harus dari ujung kampung hingga jantung negeri.  Mengobati kesakitan tidak boleh dihalangi oleh jauh dekatnya peradaban.

Elang itu semakin tinggi mendaki.  Langit kini ada di bawahnya.  Matanya sanggup melihat seluruh Indonesia.  Sarang tempatnya bermula.  Sarang tempatnya nanti tak akan tiada.  Lelah baginya hanyalah pepatah.  Lelah baginya hanyalah setetes keringat tanpa berdarah darah.

Bogor, 1 Juni 2017

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun