Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perjalanan Lahir Batin Prolet; Surga Ada di Bakiak Ibu

25 Mei 2017   21:40 Diperbarui: 25 Mei 2017   23:14 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suara langkah kaki Prolet yang tergesa gesa menembus kerumunan kaki kaki orang yang saling melangkah bersilangan, seperti ketukan nada nada khawatir dan rindu yang menyawai Minuet in GSebastian Bach

Menaiki tangga stasiun Gambir yang cukup curam tanpa menggunakan lift atau eskalator cukup menguras tenaga.  Iramanya lebih mirip dengan petikan buas Izzi Stradlin.  Prolet yang terbiasa olahraga mengangkat galon aja terpaksa harus menerima dirinya ngos ngosan begitu sampai di peron keberangkatan.

Dan tepat waktu!  Pintu sudah mau ditutup ketika Prolet menarik tubuhnya memasuki gerbong 5 kereta api Gajayana.  Sambil melemparkan penat ke tempat duduk, Prolet mencoba merunut ketergesaannya hari ini.

----

Pagi saat masuk kantor dan sedang asyik mengerjakan tugas rutinnya.  Prolet dikejutkan dengan kabar dari Solo.  Pamannya mengabarkan bahwa si mbok nya masuk rumah sakit mendadak.  Entah sakit apa.  Prolet langsung diserang panik. Si mbok nya adalah orang tradisonal yang selalu menjaga kesehatan sedisiplin tentara Korea Utara.  Tidak makan sembarangan.  Rajin berolahraga dengan cara berkebun.  Tidurpun selalu dijaga tidak kurang 8 jam tiap harinya.

Jika sampai si mbok nya sakit, itu bukan perkara enteng.  Pastilah ada apa apa.  Belum apa apa Prolet sudah merasakan rasa bersalah setengah mati.  Beberapa bulan terakhir ini dia jarang sekali menelepon si mbok nya.  Kiriman uangnya tidak pernah telat, tapi berkomunikasi rasanya jarang sekali dia lakukan. 

Duuhh padahal si mbok nya hidup sendiri di rumah.  Prolet semakin gelisah.  Matanya terantuk pada seekor kupu kupu yang tersesat jalan dan sekarang menempel di kaca jendela. Corak dan warna pada sayap kupu kupu itu seperti mata tajam yang sedang melemparkan tuduhan kepada Prolet.  Prolet balas menatap.  Merutuk pelan.  Rasa bersalahnya sekarang sudah sampai ke tenggorokan.

----

Dinihari menjelang subuh, Gajayana merapatkan tubuhnya dalam pelukan Stasiun Solo Balapan.  Prolet melompat turun dan setengah berlari menuju pintu keluar.  Sepanjang jalan dia tidak bisa tidur.  Memikirkan bagaimana keadaan si mbok nya.  Apalagi pamannya sama sekali tidak bisa dihubungi.  Semakin gaduh saja pikiran Prolet mereka reka.

Prolet melompat ke taxi yang sedang manggut manggut kesepian di halaman stasiun.

“Rumah Sakit Dr. Oen nggih mas...” Prolet menyebutkan tujuan sembari menutup pintu taxi buru buru.

Taxi meluncur mulus membelah kota Solo yang masih tertidur.  Meski begitu, sudah nampak percik percik kecil kehidupan di kegelapan.  Emak emak berusia senja mendorong sepeda angin yang ada bronjong kosong untuk berjulan sayur di boncengannya.  Menuju pasar induk kota Solo untuk berbelanja.  Prolet tak berkedip melihat pemandangan itu.  masih ada kehidupan tradisonal di jaman kontemporer seperti sekarang.  Ini seperti sedang menonton pagelaran wayang kulit di panggung besar Taman Ismail Marjuki dengan para penonton duduk manis di jok lembut deretan mobil modern di tempat parkir.

Begitu tiba di RS Dr. Oen Solo, setelah membayar taxi, tergesa gesa Prolet masuk menuju meja recepsionis.  Setelah bertanya tanya dengan cepat, Prolet masuk lift menuju kamar tempat si mbok nya dirawat.

----

Prolet memelankan langkah kakinya yang kali ini mengetuk lantai rumah sakit dengan nada nada Fur Elise Beethoven.  Sebelum masuk ke bangsal kelas 3 rumah sakit kamar nomor 308, Prolet menyempatkan diri mengintip ruangan.  Sepi.  Dibukanya pintu selembut mungkin.  Ada 8 tempat tidur perawatan di ruangan ini.  Semuanya terisi. 

Prolet memandangi satu persatu para pemilik sementara tempat tempat tidur.  Matanya berhenti di sudut ruangan.  Terlihat si mbok nya terbaring berselimut.  Prolet mendekat.  Si mbok nya tidur dengan pulas.  Wajahnya yang dipenuhi guratan perjuangan hidup terlihat damai dan tenang.  Prolet menyentuh tangan si mbok nya.  Mendekatkan muka dan menciumnya dengan lembut dan takzim.  Lama.

Terdengar gerakan lemah dan batuk pelan.  Prolet mengangkat mukanya yang basah oleh keringat dan airmata.  Si mbok nya sudah terjaga sambil memandangnya penuh rindu. Menarik Prolet dalam pelukannya yang kuyu sambil berucap setengah berbisik.

“Akhirnya kamu datang juga nak.  Terimakasih Gusti....”

----

Prolet tidak mampu berkata apa apa.  Semua suara tersangkut di tenggorokan.  Sedikit saja dia bersuara, pastilah sedu sedan yang akan mengudara. Prolet membantu si mbok nya duduk.  Masih memegang tangannya yang menghangat dengan cepat.  Tangan keriput yang puluhan tahun menjaganya tetap hidup dalam limpahan kasih ibu.   

Sebelum Prolet bertanya tanya, si mbok nya bercerita bahwa beberapa hari yang lalu si mbok nya ikut membantu memasak di dapur umum desa.  Ada longsor di desa sebelah.  Banyak rumah tertimbun.  Banyak pengungsi harus tidur di tenda tenda darurat.  Untungnya tidak ada korban jiwa.

Beberapa hari si mbok nya membantu para relawan.  Tidur di tenda darurat juga.  Memasakkan para pengungsi yang kehilangan tempat tinggal.  Jumlahnya ratusan orang.  Benar benar kecapean.  Pada ujung minggu yang sama akhirnya si mbok nya jatuh pingsan.

Begitu tersadar sudah terbaring di rumah sakit.  Dokter bilang tidak apa apa.  Hanya terlalu lelah.  Menganjurkan agar istirahat beberapa hari di rumah sakit untuk memulihkan tenaga setelah mendengar hanya tinggal sendirian di rumah.  Toh BPJS menjamin biayanya.  Dokter cantik yang baik hati ujar si mbok memancing berusaha perhatian Prolet.  Prolet hanya diam saja. 

Perasaannya dipenuhi lagi oleh rasa bersalah yang besar.  Seharusnya kalau dia rutin menelpon si mbok nya, semua ini pasti bisa dicegah.  Paling tidak dia bisa mengontrol si mbok nya sudah makan apa belum, sudah tidur apa belum.  Penyesalan Prolet diakhir dengan rasa syukur yang sepenuh air sumur.  Dia masih punya seorang ibu.

Suara adzan subuh membelah kesunyian rumah sakit. Menggugah jiwa jiwa yang masih tertidur.  Menyirami tubuh tubuh sakit.  Mengelus bangunan tua rumah sakit yang setia menua bersama kotanya.

Si mbok turun dari pembaringan.  Minta Prolet menuntunnya pergi ke mesjid rumah sakit.  Prolet tidak membantah.  Dia tahu tidak ada gunanya.  Sesampainya di mesjid, si mbok mengambil sesuatu dari tas plastik yang minta dibawakan Prolet.  Diambilnya sepasang bakiak kusam. Berwudlu lalu menunanikan sholat Subuh.

Prolet hanya melihat.  Tidak bergerak dari tempatnya.  Takut ada apa apa dengan si mbok nya.  Si mbok nya memberi isyarat agar Prolet segera mengambil wudlu dan sholat subuh berjamaah.  Prolet menurut.  Dilepasnya sepatu.  Matanya terpaku pada bakiak si mbok nya.  Hendak dipakainya untuk berwudlu.  Masih ada tetesan tetesan air sisa wudlu di situ. 

Begitu kakinya menempatkan diri di bakiak si mbok.  Rasa sejuk meresap tanpa bisa dicegah menjalari kaki Prolet.  Mengikuti aliran darah ke jantungnya yang sedang memompa.  Memenuhi dadanya dengan kehangatan kasih seorang ibu.  Melahirkan, menyusui, merawat dan mendidik hingga dia sebesar ini.  Rasa hangat itu terus naik ke tenggorokan Prolet.  Menuju wajahnya yang berdebu.  Berakhir di sepasang matanya.  Air sisa tetesan wudlu di bakiak tadi kemudian mengembun keluar dari matanya yang berkaca kaca. 

Apa sih susahnya menelepon dan berkabar pada si mbok nya. Prolet menatap bakiak itu sambil mengukir sebuah janji.  Aku akan selalu mengabarimu setiap hari mbok.

----

Usai sholat subuh yang membawa hati Prolet ke dalam kesadaran sedalam lagu lagu Chrisye.  Prolet kembali menuntun si mbok nya menuju kamar perawatannya.  Membuka pintu sambil tetap memegang sepasang bakiak utusan malaikat itu.  Menuntun si mbok sambil menunduk.  Si mbok nya terhenti tiba tiba.  Prolet terkaget. Takut si mbok ada apa apa.  Mengangkat muka.  Si mbok sedang menatap ke tempat tidurnya.  Seorang gadis ayu lembut sedang menatap mereka sambil tersenyum ayu.  Prolet terperangah.....Tuan Puteri!

Prolet memandang bakiak di tangannya yang nampak sedang tersenyum mewakili si mbok nya.  Tuan Puteri tersenyum lagi sambil melambaikan sebuah tiket pesawat Jakarta-Solo atas namanya tadi malam dan dua tiket Solo-Jakarta atas namanya dan Prolet lusa siang.

Jakarta, 25 Mei 2017

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun