Pertunjukan dimulai. Â Suara gamelan mengalun lembut lalu menghentak hentak. Â Melembut lagi. Â menghentak lagi. Â Beberapa penari muda muncul menarikan tarian mahabarata. Â Menggambarkan peperangan baratayudha yang membangkitkan gemuruh peperangan keadilan melawan kebatilan. Â Penonton terkesima. Â Tarian ini begitu rancak dan membangkitkan semangat.
Menjelang tengah malam, puncak acara pertunjukan akhirnya tiba. Â Seorang wanita penari keluar. Â Sastri! Â Idola kedua setelah Lastri. Â Suara riuh penonton tiba tiba berhenti. Â Ini tarian mistis yang diiringi oleh gending Lingsir Wengi. Â Sastri sepertinya sengaja memilih tari dan gending ini agar tepat dengan suasana tengah malam yang melingkupi.Â
Wanita penari itu meliukkan tubuhnya mengikuti irama gamelan. Â Begitu gemulai. Begitu sempurna. Dunia seperti sedang berada dalam genggamannya. Â Saat dia melemparkan kerling misterius, angin berpusar menuju ke arahnya. Â Ketika dia mengayunkan selendangnya ke udara, tak sedikit daun daun di halaman rumah Juragan Minto luruh dari pohonnya. Â Waktu dia menggerakkan kaki tangan dan membuatnya seirama, serempak jantung para penonton berhenti berdetak.
Lastri terpana. Â Sastri sungguh luar biasa. Â Tariannya menciptakan magis yang luar biasa. Â Mengapa orang orang selama ini lebih memilih dia dibanding Sastri. Â Padahal jelas jelas Lastri jauh lebih memikat dan bernyawa tariannya dibanding dia. Â Mendadak Lastri menautkan kedua asli matanya yang indah. Â Kebaya itu! kebaya itu adalah kebaya robek yang disimpan sebagai pusaka di rumahnya! Â Terlihat jelas robekan itu di bagian dada. Â Persis miliknya!
----
Mendekati puncak tarian, suasana semakin miris. Â Tanpa disadari oleh siapapun. Â Gending Lingsir Wengi yang ditembangkan oleh Sastri sambil menari, menyedot jiwa orang orang. Â Semua orang hanya merasakan merinding tidak berkesudahan. Â Lastri sendiri harus menutup telinganya agar tidak terbawa hawa yang mengerikan ini.Â
Lastri menyaksikan betapa orang orang yang tidak kuat batinnya berdiri dan menari mengikuti Sastri. Â Hanya beberapa orang masih kuat duduk, namun menutupi telinga mereka sekuatnya. Â Orang orang yang terpengaruh tarian dan gending itu berjalan lambat menuju panggung. Â Mata mereka kosong. Gerak tubuhnya kaku kaku seperti mayat hidup. Tangan mereka terentang di depan tubuh membentuk cakar. Â Menakutkan! Â Lastri bergidik.
Puluhan orang bermata kosong menaiki panggung. Â Melewati Sastri yang masih menari dan menembangkan gending Lingsir Wengi berulang ulang. Â Puluhan tubuh kaku itu langsung menuju ke belakang panggung dimana pelaminan berada. Â Puluhan cakar cakar mengancam itu mengarah ke leher Juragan Minto dan beberapa pengawal raksasanya yang pucat pasi ketakutan.
Mereka seperti terhipnotis oleh tarian. Â Tidak ada satupun yang bisa melawan puluhan mata kosong, tubuh kaku dan cakar cakar itu. Â menyerahkan leher mereka seperti ayam tak berdaya. Â Menggelepar sekarat tercekik nafasnya. Â Taria dan gending semakin meninggi. Â Melengking menaiki udara. Â Diakhiri dengan suara cekikikan Sastri yang wajahnya menunduk memandang kegelapan malam.
Tarian, gending dan suara cekikikan berakhir saat Juragan Minto dan para pengawalnya tergeletak dengan mata membeliak dan lidah terjulur. Â Mati mengenaskan! Mata mata kosong, tubuh tubuh kaku, dan cakar cakar para penonton yang terpengaruh tadi, kembali tersadar. Â Saling pandang tanpa tahu apa yang terjadi.
Lastri benar benar merinding. Â Namun sangat bersyukur dirinya ternyata tidak menjadi korban kejadian mistis dan mengerikan itu. Â Menatap mayat mayat bergelimpangan orang orang yang hendak menganiaya kehormatannya. Â Lalu menoleh ke arah panggung untuk berterimakasih kepada Sastri. Â Menerima tatapan kasih dan senyuman Marni di sana....
Medan, 21 Mei 2017