Aku lanjut nanti lagi ya Prolet. Â Anak anakku sedang menunggu untuk kubacakan cerita tentang laut dan langit mengapa disusun dari warna biru.
Aisyah
----
Surat ke 2-minggu kedua Januari 2017;
Dear Prolet,
Surat keduaku ini aku tulis ketika malam mulai menjalari punggung bukit tempat aku tinggal bersama seorang anak muridku yang tak beribu bapa lagi. Â Dia hanya tinggal bersama neneknya yang sudah tua. Â Tapi Prolet, aku hampir menangis seperti orang kehilangan celana. Â Sang nenek adalah manusia luar biasa. Â Dia ingin Jamila, cucunya terus bersekolah hingga kuliah. Dia ingin cucunya menjadi seorang sarjana. Â Tapi ada satu syarat yang harus dipenuhi Jamila. Â Dia harus kembali ke desanya saat sudah menjadi sarjana. Aku angkat topi!
Padahal kau tahu Prolet? Sang nenek sadar bahwa menyekolahkan Jamila sampai sarjana berarti dia harus menjual sawah sawahnya yang masih tersisa. Â Sang nenek rela. Â Demi cucu, desa dan negaranya. Â Hebat bukan Prolet? Kali ini aku bukan lagi angkat topi. Â Tapi mengangkat pipa celana. Jangan berpikir macam macam! Â Di sini becek sekali kalau sedang musim hujan. Â Hehehe.
Sudah dulu ya Prolet. Â Kita lanjut lagi lain kali. Â Punggung bukit ini mulai menyodorkanku sebuah mimpi.
Aisyah.
----
Prolet menatap langit langit ruang kerjanya. Â Dia membaca surat dari Ibu Guru Aisyah untuk kesekian kali. Â Entah kenapa dia seperti mendapatkan energi setelah selesai membacanya. Mungkin karena surat yang ditulis itu menggunakan bahasa bahasa sederhana namun bercerita tentang mimpi mimpi tidak sederhana.