Pagi, kau tidak buru buru mandi. Â Lebih malas daripada kukang yang jatuh terjengkang. Â Kau berteriak tidak sopan; handukku mana ibu!? Setelah kau lempar handukmu sembarangan, kau korek lipatan baju di lemari seperti mengorek sampah di kali. Â Akibatnya ibumu nanti malam harus tergopoh gopoh membenahi.
Lalu kau berteriak lagi; aku mau telor setengah matang ibu! Ibumu kalang kabut meninggalkan cuciannya memenuhi permintaanmu. Â Ketika telor setengah matang terhidang mengepul di hadapanmu, kau makan dan diam seperti patung tak berjantung. Â Saat telor tiba dan terlalu matang tersaji di piring, kau denguskan nada marah tak berhati. Â Ibumu terlihat sangat lega melihat kau makan dengan lahap seperti kuda. Â Dia mengabaikan sungut di mulutmu yang tak juga mereda.
Setelah itu kau buru buru menyambar tas sekolahmu. Â Hendak berlari begitu saja karena ada kawan yang memanggil lantang. Â Lupa pada berkah seorang ibu. Â Kau baru kembali setelah ibumu memanggil namamu dengan lembut sambil menyodorkan tangan kanannya. Â Kau cium tangan ibumu. Sebagai upacara. Â Bukan jiwa yang berbicara.
Pulang sekolah, kau lempar tasmu. Â Tanpa ba bi bu membuka tutup saji meja makan. Â Kembali diam seperti patung begitu kau lihat ada yang menarik seleramu. Â Kembali berteriak seperti lutung waktu tak ada yang membuatmu ingin makan. Â Ibumu hanya tersenyum maklum. Â Anak tersayangnya seharian lelah mengeja dan berhitung.
Saatmu bermain, jangan kau kira ibumu bisa meletakkan lelah dengan sempurna. Â Menyimpan tasmu di tempatnya. Â Mencuci kaos kaki baumu yang kau lempar begitu saja di atas sofa. Kau kira dirimu pemain baseball handal ya? Lalu ibumu mengira ngira apa yang bisa membuatmu tersenyum nanti malam saat makan. Â Kemudian mulai lagi meracik bumbu.
Ketika kau merebahkan setengah lelahmu dengan nyaman ke pembaringan. Â Ibumu justru telah berjibaku lagi di penggorengan. Â Kau tak peduli. Â Itu sudah kewajiban katamu. Padahal kata ustadmu, surga itu di telapak kaki ibu. Â Dan itu kebutuhanmu. Kau memang bodoh waktu itu.
Malam tiba, kau meradang tak ada rendang. Â Ibumu pucat pasi. Â Kira kiranya ternyata tak pasti. Â Ibumu menyesal setengah mati. Â Dia ingin kau lempar senyummu untuknya sebagai bekal menghadapi mimpi. Â Ibumu sering mimpi buruk. Â Dan itu akibat kelelahan. Â Bukan karena gangguan setan.
Kau tetap tak peduli.  Kau hempaskan tubuhmu ke ranjang sambil bergulat dengan gadgetmu.  Sementara ibumu menghela nafas panjang.  Sembari tetap berdo’a kepada Tuhan agar tetap melindungimu.  Kau terpejam karena serbuan layar tak henti ke matamu.  Kau tak tahu ibumu mendatangimu, mencium keningmu, lalu menyelimutimu dan mematikan lampu.
Sekarang kau pasti menyesal tujuh turunan. Â Kau hanya bisa mengenang dengan airmata tergenang. Â Saat kau sadar ada dua hal yang kau ingat tentang lupamu dulu..... terimakasih ibu; dan maafkan aku ibu.
Bogor, 14 Mei 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H