Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Misteri Ujung Kilat di Dangau Pak Sardi

11 Mei 2017   23:30 Diperbarui: 11 Mei 2017   23:41 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Percikan kilat sedari sore mengembang di angkasa.  Memberi tanda bahwa bumi sedang berkasih kasihan dengan langit.  Melalui awan yang diperintahkan menggelar pertunjukan. Tapi tidak ada guruh setelahnya.  Juga tidak turun hujan.  Cukup mengherankan. 

“Mungkin guruhnya sedang lelah mas...” begitu kata Sawo kepada Kecik.  Mencoba bercanda.

Kecik mengerutkan kening.  Ini hal yang tidak boleh dibuat main main. Apalagi sejak tadi mereka memperhatikan.  Gambar terang berbentuk akar di langit itu menuju ke satu tempat saja.  Sawah Pak Sardi.

“Atau barangkali lagi pendiem mas...jadi ngga ada suaranya,” lanjut Sawo yang tidak menyadari bahwa Kecik tidak suka candaannya.

Kening Kecik semakin dalam.  Sawo memang suka meremehkan sesuatu.  Dia tidak.  Ini janggal.  Ganjil. Bukan main main.  Apalagi akhir akhir ini di desa mereka terjadi pageblug. Wabah penyakit aneh yang telah mengakibatkan banyak ternak mati mendadak.  Tidak ada yang tahu penyebabnya.  Bahkan mantri hewan kecamatan sampai geleng geleng kepala menyerah.

Sawo dan Kecik adalah dua sahabat akrab.  Sama sama bejat dan suka mempermainkan perempuan.  Keduanya terkenal sebagai buaya mata keranjang di desa.  Sudah banyak gadis gadis desa yang menjadi korban rayuan.  Setelah direnggut keperawanannya, ditinggalkan begitu saja.  Dua orang ini sedang meronda malam di desa.  Kebetulan pos ronda itu berdiri di pertigaan jalan masuk desa.  Sawah luas menghampar di belakang pos.  Itulah kenapa Kecik yakin ujung kilat itu hanya menuju ke satu tempat saja. Sangat misterius.

“Kita kesana Kang Sawo?” ajak Kecik. 

Sawo menoleh,”Sana mana?”

“Itu, sawah Pak Sardi.  Ini misterius kang.  Kita harus menyelidiki.  Siapa tahu ini ada hubungannya dengan pageblug di desa kita...” Kecik berapi api mencoba meyakinkan.  Pak Sardi adalah juragan kaya yang memiliki sawah berhektar hektar.  Juragan itu beristri tiga namun hanya punya anak satu.  Laki laki beranjak dewasa yang badung bukan main.  Mahon namanya.

Gantian Sawo yang mengerutkan kening.  Edan wong iki.  Malam malam ngajak keluyuran ke tengah sawah.  Lagi banyak petir pula.

Kecik rupanya keras hati.  Tanpa menunggu jawaban Sawo lagi, yang dia tahu pasti menganggapnya edan, Kecik meraih senter besar lalu turun dari pos.  Sawo menghela nafas panjang.  Mau tidak mau ikut turun mengikuti Kecik yang sudah tersaruk saruk melangkah lewat pematang.

Kedua orang ini lalu menelusuri pematang dengan hati hati.  Pematang itu sangat sempit dan kecil.  Di beberapa tempat malah baru ditambahi tanah sehingga berlumpur dan licin. Lumayan juga jika sampai terjatuh.  Benjol dijamin tidak.  Tapi berkubang lumpur sudah pasti iya.

Semakin mendekati tempat yang dituju.  Serbuan kilat semakin bertubi tubi.  Sawo sampai harus beberapa kali berhenti sambil menutup kedua telinganya.  Gerak reflek yang otomatis. Kecik sendiri masih mantap melangkahkan kaki.  200 meter lagi mereka sampai.  Dia semakin yakin.  Ujung kilat itu memang menuju ke tempat yang sama.

Kira kira 50 meter dari dangau Pak Sardi.  Kecik menghentikan langkah mendadak.  Lalu berjongkok tiba tiba.  Tanpa mengeluarkan suara atau aba aba.  Hampir saja Sawo yang berjalan di belakangnya terjungkal karena kesandung Kecik.  Untung dia sempat berpegangan pada lengan baju Kecik.  Selamat.

“Ssssttt...lihat kang.  Ada seseorang di dangau Pak Sardi.  Aku melihat bayangannya dengan jelas tadi...” Kecik berbisik lirih sekali.  Gemetaran.

Sawo tidak menyahut.  Apalagi dia tidak mendengar dengan jelas apa bisikan Kecik tadi.  Tapi melihat gelagat tetangga rumahnya, Sawo jadi ikut ikutan jongkok. 

Sekarang Kecik bertingkah lebih aneh lagi.  Dia meneruskan perjalanan tapi dengan berjongkok. Beringsut ingsut maju berusaha tidak menimbulkan suara.  Sawo ternganga bingung. Temannya ini sudah dimasuki jin penunggu Telogo Widodaren rupanya. 

Ada sebuah telaga agak besar terdapat tidak jauh dari areal persawahan.  Indah.  Airnya sangat bening.  Konon telaga yang telah berusia ribuan tahun itu, adalah tempat mandi para bidadari.  Anehnya, tidak ada mata air yang ditemukan di sekitar telaga.  Jadi darimana telaga itu mendapatkan limpahan air yang seperti tidak habis habis?

Sawo dan Kecik rupanya berpikiran sama.  Mereka saling berpandangan dalam posisi masih berjongkok.  Kecik membesarkan hatinya.  Dia memberi isyarat Sawo agar terus maju.  Tetap dengan berjongkok.

Akhirnya sampailah mereka di pinggir bangunan dangau yang dibangun cukup bagus dan berukuran cukup besar.  Kilat datang lagi.  Beruntun beberapa kali.  Sawo dan Kecik ndepipis di balik dinding dangau.  Mencoba mengintip melalu sela sela anyaman bambunya.

Tidak terlihat apa apa.  Gelap.  Harus menunggu kilat menyinari lagi.  Keduanya tidak menyadari masing masing membawa senter saking tegangnya.

Sawo dan Kecik hampir terjengkang ke belakang saat lamat lamat terdengar isak tangis perempuan di dalam dangau!  Sudah tidak bisa digambarkan lagi betapa bulu kuduk mereka tegang seperti kawat baja. 

Kecik yang memaksa untuk kesini tadi merasa bertanggung jawab dan memberanikan diri berputar ke depan agar bisa menyelidiki.  Celananya sudah basah oleh cipratan kencing akibat kejutan isak tangis tadi.

Sawo mengikuti sambil memegang erat erat senternya.  Dengkulnya sebenarnya sudah teramat lemas.  Tapi melihat Kecik maju, Sawo juga ikut maju.  Keduanya berdiri di depan dangau dengan senter menyala di tangan.  Menyorot ke dalam dangau.  Lalu untuk kedua kalinya Kecik merasakan basah mengaliri sela sela kakinya.

Seorang perempuan berambut hitam halus dan panjang meringkuk di sudut dipan dangau.  Rambutnya yang panjang menutupi sebagian tubuhnya yang telanjang tidak mengenakan apa apa.  Tubuhnya mulus seperti patung pualam.  Wajahnya tidak terlihat karena ditutupi oleh kedua tangannya.  

Ini pasti perempuan sangat cantik.  Sawo dan Kecik berkesimpulan yang sama.  Rasa takut mereka berkurang banyak.  Bahkan muncul watak asli laki laki mereka.  Tergiur dengan tubuh wanita cantik tanpa busana ini. Mereka kehilangan nalar sehat.  Bagaimana mungkin ada perempuan cantik, telanjang, menangis di tengah sawah yang jauh dari mana mana.

“Mbak, kenapa menangis?  Apakah ada yang mengganggumu?” Sawo bertanya centil sok pahlawan. Matanya tidak berhenti menelusuri lekuk tubuh yang menggairahkan itu.

“Kita temeni ya mbak?  Boleh kok cerita masalahnya apa ke kami..” Kecik tidak mau kalah.  Matanya melotot memerah penuh gairah.

Perempuan itu menghentikan tangisnya.  Mengangkat kedua tangan yang menutupi wajahnya.  Cantik luar biasa! 

“Sa..saya...kehilangan baju sa..saya mas...ada pemuda yang mengambil baju dan selendang saya waktu mandi di telaga tadi...sa...saya tidak bisa pulang bersama teman teman saya...saya memanggil kilat dari tadi agar segera hujan....saya perlu bianglala agar bisa pulang meski selendang sa..saya hilang....” mulut manis itu berkata terbata bata.

Sawo dan Kecik ternganga bukan main melihat kecantikan dan kemolekan di depan mereka.  Kembali keduanya berpikiran sama.  Ini pasti bidadari yang tidak bisa pulang karena selendangnya dicuri.  Keduanya tidak sadar bahwa itu hanya sebuah dongeng belaka.

“Siapa yang mengambilnya mbak...biar kami nanti yang mengambilnya lagi...tapi boleh kami temani dulu di sini...” Sawo rupanya sudah menggelegak darah laki lakinya.  Kecik yang juga dalam keadaan sama, hanya mengangguk angguk.  Sambil tetap memelototi tubuh perempuan itu.

Perempuan itu terlihat gembira.  Berdiri tanpa malu malu.  Matanya yang tadi terlihat ketakutan seperti kelinci, sekarang menghitam semua berkilat kilat.  Lalu tersenyum lebar. Menampakkan dua gigi taring yang bertetesan darah....

Jakarta, 11 Mei 2017

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun