Sedang tidak purnama. Langit sungguh sepi dari cahaya. Pekat seperti tangan tangan iblis. Mencari mangsa orang orang yang melarikan sepi. Berjiwa kosong serupa sumur tak berair. Berhati dengki ibarat gelombang pasang di telaga yang tenang.
Dalam hening yang merebahkan keberanian. Inginku menangguk cahaya bulan. Meminjamnya selarik untuk menerangi pandangan. Cahaya itu adalah tangan tangan malaikat. Sanggup menuntun setiap huruf yang aku eja. Bisa menata kata yang aku jeda. Mampu membariskan kalimat yang aku susun sedemikian rupa.
Tapi dimana aku bisa menangguk cahaya bulan? Sedangkan dia sedang bersembunyi di bumi bagian utara. Ataukah aku harus menjajarkan para bintang? Sedangkan malam ini langit lupa membawanya serta.
Barangkali aku putar saja hitungan tanggal. Dan bumi berputar terbalik balik. Tapi aku takut bulan malah tidak mau lagi pulang. Lalu kemana lagi aku harus meredakan terik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H