Orang tua, dua kata ini merupakan label buat manusia yang menikah dan mempunyai anak. Iya, dari hasil pernikahan kami telah dianugerahi dua anak. Alhamdulillah diberi dua-duanya perempuan. Berita gembira bagi orang tua yang berhasil mendidik anak perempuan dibahas dalam hadits. Ada sebuah hadits dari Anas bin Malik, Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda
( ) "Siapa yang mendidik dua anak perempuan hingga ia dewasa, maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia...." Lantas Nabi shallallahu'alaihi wa sallam mendekatkan jari jemarinya. (HR. Muslim no. 2631). Artinya, begitu dekat dengan Nabi shallallahu'alaihi wa sallam.
(http://www.wajibbaca.com/2018/01/karena-anak-perempuan-yang-bisa.html , diakses 01102018)
Kehidupan di dunia hanya sementara, lalu apa persiapan yang akan dibawa untuk mengarungi perjalanan yang lebih panjang dan abadi. Berita gembira itu membuat hatiku lebih percaya diri dalam menyiapkan anak perempuan kami. Mulai mengatur strategi untuk menyekolahkannya ke sekolah yang mendahulukan ilmu agama dari ilmu yang lainnya.
Sampailah saatnya anak kami yang pertama menyelesaikan sekolah tingkat madrasah ibtidaiyah. Saatnya melanjutkan sekolah ke jenjang SMP. Kamipun memilih sekolah ke pondok pesantren dalam rangka menyiapkan terjawabnya tantangan hadits tersebut di atas. Hari demi hari kehidupan di pondok menjadi sebuah cerita tersendiri bagi kami dan anak kami. Semangat melewati masa-masa yang tidak ringan telah sampai pada bulan keempat. Tekad dan semangat yang hampir membulat, buyar seketika. Di sinilah kisahnya bermula.
Biasanya kalau kunjungan, ayah, ibu, dan adik selalu datang. Di Ponpes ini ada waktu kunjungan untuk santri putri diberi waktu pada minggu ganjil. Hampir tiap dua minggu merupakan pertemuan yang menggembirakan. Namun, semenjak hari itu, ia hari itu...hari dimana tangan ayah yang sebelah kiri tidak dapat berfungsi sebagaimana biasanya karena terjatuh turun tangga sewaktu mengambil buah kelengkeng untuk menambah isi paket yang akan dikirim ke Ponpes untuk Kakak Tata, begitu sapaan akrab panggilan anak kami yang pertama.
Ceria menjadi duka bagi anak kami, karena tidak dapat bertemu dengan ayah ketika masa kunjungan. Memang semenjak kejadian itu, kurang rasanya yang berkunjung tanpa ayah. Sehingga tekad yang mulai membulat menjadi mengkerut kembali. Hari-hari di ponpes menjadi kelam. Semangat dan keceriaan pupus sudah, apalagi semenjak tahu kejadian itu karena ingin mengirimkan paket ke ponpes. Rasa bersalah dan penyesalan dalam diri anak kami terasa begitu kuat.
Sebulan sudah waktu berlalu, kami tetap kunjungan tanpa ayah. Kubawa tripod untuk menghadirkan ayah ke ponpes pada waktu kunjungan untuk video call dengan ayah di rumah, biar HP standby duduk di tripodnya. Sesampainya di pondok langsung bertemu dengan Kakak Tata. Ceria di wajahnya ketika melihat mobil kami sampai di gerbang ponpes. Memang semenjak kejadian itu, kami menumpang kendaraan dengan teman yang sama menitipkan anaknya ke ponpes ini. Kupasang tripod biar langsung dapat terhubung dengan ayahnya yang di rumah. Alhamdulillah jaringan lancar dan video call pun berhasil, Alhamdulillah. Lengkap sudah kami kunjungan hari itu meski hanya lewat video call.
Waktu berlalu begitu cepat, biasanya merengek minta pulang sudah menjadi ayat yang kuhapal semenjak kami menitipkannya ke ponpes ini, ada banyak alasan yang dsampaikannya, sampai sakit, gatal-gatal, kawan yang marah-marah, dan sebagainya. Bujuk dan membujuk sampai air bening keluar bulir demi bulir di sudut pipi ini kusapu cepat biar tidak kelihatan dengan anak. Ingin mengabulkan tapi takut menjadi alasan berikutnya untuk pulang. Akhirnya dapatlah dimengerti oleh anak kami untuk tidak izin pulang.
Kamipun berpamitan untuk pulang. Kuantar ke gerbang ponpes dan akupun bergegas ke mobil temanku untuk naik dan pulang ke rumah. Baru saja naik mobil, dah muncul lagi di dekat pintu mobil. Akupun keluar lagi dan memberi pengertian dan semangat agar kembali kuat dan tegar dalam menjalani kehidupan di ponpes yang serba menantang. Kuantar kembali sambil kupeluk diperjalanan menuju pintu gerbang dari mobil tumpanganku. Alhamdulillah ucapan da..da..jangan lupa kasih surat kakak ke ayah ya Bu..akhirnya keluar juga dari anak kami. Kujawab, dengan anggukan dan acungan jempol.
Sesampainya di rumah, aku teringat pesan darinya untuk memberikan surat yang tadi diberikan di ponpes saat kunjungan. Akupun ikut membaca suratnya. Mulai kubuka dan kubaca kata demi kata,