Baru-baru ini, kembali saya membaca sebuah artikel di Linkedin tentang bagaimana cara mengatasi resistensi karyawan terhadap sebuah project baru. Dalam manajemen perubahan (change management), resistensi karyawan untuk menerima hal baru adalah sebuah masalah besar.
Ketika perusahaan mengimplementasikan sebuah project baru, yang tujuannya tentu saja untuk meningkatkan kapasitas atau memperbaiki kondisi perusahaan saat ini. Maka, tentu saja, karyawan akan akan berhadapan dengan hal baru pula.
Bisa jadi situasinya seperti ini, karyawan sebuah perusahaan dari berbagai divisi akan dikenalkan dengan sistem baru yang harus digunakan, sehingga karyawan harus belajar lagi dari awal, hal ini kemudian memunculkan aktivitas tambahan yang tadinya tidak ada, yang tentunya dianggap menambah kesibukan dan load pekerjaan. Sebagai karyawan, inilah biasanya yang disebut sebagai perubahan yang dialami mereka.
Di sinilah biasanya, mulai muncul masalah klasik dalam perusahaan. Karyawan merasa galau dengan hal yang tidak biasa, yang tiba-tiba muncul dalam pekerjaan mereka. Hal baru biasanya membuat galau.
Kegalauan ini disertai dengan kecurigaan, terkadang, si karyawan seketika merasa kewalahan dan merasa tidak ingin untuk mempelajari dan terlibat lebih jauh. Sebenarnya, hal ini adalah dinamika yang wajar seorang individu.
Perusahaan tentu harus segera memikirkan langkah apa yang harus dilakukan untuk mengatasi kegalauan, yang bisa terus berlanjut. Inilah, cikal bakal munculnya area disiplin manajemen perubahan/change management.
Yaitu ketika perusahaan merasa berkepentingan untuk mengawal setiap inisiatif perubahan yang sedang berlangsung, tentu, agar pengerjaan project baru berjalan efektif dan dilakukan dengan tepat waktu.
Tidak sampai di situ saja, lebih jauh lagi, yang paling penting adalah karyawan dapat beradaptasi dan mengadopsi hal baru dengan cepat dan efektif. Nah, manajemen perubahan/change management berkembang untuk menjawab berbagai permasalahan serupa.
Kali ini agak sedikit berbeda, kita tidak akan membicarakan pendekatan-pendekatan dan teori change management, dan membahas bagaimana implementasinya.
Dalam tulisan ini, saya mencoba berandai-andai, ketika situasi penolakan ini terjadi dilingkungan sekitar kita. Misalnya di rumah, atau di lingkungan keluarga besar. Ketika ada inisiatif anggota keluarga untuk menawarkan hal baru yang berguna, misalnya sebut saja, penggunaan aplikasi baru untuk meeting online.
Ceritanya, aplikasi baru ini lebih integrated, lengkap dengan penyimpanan dan pengolahan data, dan fitur canggih lainnya. Jadi bukan sekedar alat buat meeting online dengan video. Tentu saja pengguna harus mempelajari dulu aplikasi baru ini, biar lancar penggunaannya.
Akan tetapi, ternyata orang-orang yg diajak, sejak awal sudah tidak bersemangat. Sebagian lagi mungkin sedikit lebih baik, walaupun agak terpaksa, tetap mencoba aplikasi ini, namun semakin lama, semakin tidak tertarik, dan setelah 1--2 minggu benar benar angkat kaki dari platform baru ini dan kembali menggunakan aplikasi lama.
Apa yang bisa Anda lakukan, sebagai orang yang mengajak?
Kalau saya ditanya apa yang akan saya lakukan, yang pertama terlintas, adalah mencoba membujuk, meyakinkan mereka bahwa aplikasi ini lebih bagus.
Setelah itu, tentu kita akan mendampingi mereka untuk mencoba, dan mengajarkan cara penggunaan, memperi tips dan sebagainya. Tentu juga menawarkan diri untuk siap membantu apabila yang bersangkutan, mengalami masalah.
Satu hal yang perlu diketahui, manusia memang memiliki kecenderungan untuk secara refleks akan menolak sesuatu yang hal baru. Penolakan ini bisa muncul saat itu juga, dan ada yang muncul sesudahnya.
Mungkin diawal dia karena merasa tidak enak, mencoba juga untuk melakukan hal baru ini, tetapi setelah merasa bingung, bisa jadi karena belum terbiasa, dan munculnya pikiran, wah sulit juga nih, maka penolakan akan muncul perlahan.
Apa yang menyebabkan seseorang resisten terhadap hal baru, biasanya juga berbeda satu sama lain. Hal ini harus dicari tahu. Apa penyebabnya, bisa jadi kekhawatiran tidak mampu menggunakan? Merasa tidak punya kemampuan mempelajari hal baru secepat orang lain, dan sebagainya.
Saya berpikir, bahwa saya harus terus mendampingi orang tersebut, sampai mereka benar benar nyaman menggunakan aplikasi baru. Komunikasi harus terjalin dengan baik. Selanjutnya kemajuan orang ini harus terus dipantau. Inilah versi sederhana dari change management.
Tentu kalau yang dihandle sudah berjumlah puluhan hingga ratusan orang atau lebih, maka, perlu dibuat metodologi yang lebih baik, dan tata kelola pelaksanaannya, sehingga hasil lebih terukur dan efektivitas lebih baik.
Change management juga akan mendalami dinamika yang dialami oleh individu ketika berhadapan dengan perubahan. Berdasarkan analisa mendalam, dibuatlah strategi yang jitu untuk meningkatkan level adopsi dan lebih mudah beradaptasi.
Kira-kira seperti ini penyederhanaan metode change management ya guys.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H