Mohon tunggu...
Millian Ikhsan
Millian Ikhsan Mohon Tunggu... Konsultan - Advisor

Belajar menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Alih Fungsi

13 Oktober 2024   08:57 Diperbarui: 13 Oktober 2024   09:03 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Picture from modishstore.com 

Seingat saya, paling tidak ada tiga makna yang berkaitan dengan istilah alih fungsi. Mengalihkan fungsi suatu benda dari peruntukan awal, menjadi fungsi baru, sesuai kebutuhan. Dan hal ini dilakukan dengan sengaja, bukan kebetulan.

Istilah yang sering terdengar misalnya, alih fungsi lahan. Bisa jadi lahan ini tadinya digunakan sebagai lahan pertanian, tetapi dengan berbagai pertimbangan kemudian dirubah menjadi lahan penghijauan atau reboisasi.

Atau contoh yang cukup diingat masyarakat Jakarta adalah alih fungsi bekas wisma atlet untuk peserta Asian Games pada tahun 2018, yang kemudian, ketika terjadi pandemi Covid 19, berubah fungsi menjadi area rumah sakit dan lokasi karantina. Ini terjadi ketika Covid 19, sedang ganas- ganasnya di periode tahun 2020--2022.

Yang berubah fungsinya bisa banyak hal. Bisa sebuah benda, bisa sebuah bangunan, bisa lahan, sarana atau fasilitas umum atau kendaraan.

Jangan lupa, adapula alih fungsi yang berhubungan dengan kreativitas. Kalau ini bisa dibilang positif dan tentunya tidak mengganggu sifatnya. Bagaimana daya kreatif seseorang mencoba memanfaatkan berbagai benda yang tidak terpakai menjadi hiasan, tempat penyimpanan, ini pun sering kita lihat. Kita patut berikan apresiasi bagi kreativitas seperti ini. Gambar yang saya gunakan untuk tulisan inipun menggambarkan bentuk kreativitas yang tanpa batas, mendaur ulang sepeda tua menjadi sebuah meja dekoratif interior.

Tak jarang pula, peralihan fungsi ini terjadi buat hal yang remeh temeh, jadi sah-sah saja dan malah jadi lucu. Gelas menjadi vas bunga, tempat kacamata menjadi tempat pensil dan yang paling klasik asalah kaleng biskui khong guan berubah fungsi jadi kaleng berisi rengginang.

Sebenarnya yang mengganggu adalah ketika terjadi sebuah perubahan fungsi tanpa disengaja dan tanpa direncanakan. Biasanya perubahan fungsi ini terjadi karena tidak adanya aturan, ketidakdisiplinan, pembiaran dan tidak ada pihak yang mau mengambil tanggung jawab.

Keberalihan fungsi yang satu ini seringnya terjadi di kota besar. Paling tidak lebih sering terjadi di kota besar dibandingkan di kota yang lebih kecil. Apa saja itu? Kawasan atau sarana fasilitas umum, biasanya yang banyak ditemui di kota besar. Trotoar jalan berubah dari tempat bagi pejalan kaki, menjadi tempat jualan kaki lima. Dan yang lebih mengesalkan adalah trotoar berubah gfungsi menjadi jalur potong atau short cut pengendara sepeda motor.

Kalau diingat ingat, ada banyak sekali contoh alih fungsi akibat pembiaran dan ketidakdisiplinan ini. Jalan raya berubah fungsi jadi arena balap liar. Fasilitas umum paling sering berubah fungsi. Pedagang kaki lima liar menguasai halte bus, jembatan penyeberangan, tangga, pintu masuk dan lain lain.

Pertanyaan penting yang harus dicari jawabannya adalah siapa yang bertanggung jawab untuk mengembalikan fungsi nya ke fungsi awal. Sebab, biasanya tidak ada yang peduli akan situasi ini. Bahwa pihak yang terdampak negatif pun tak berdaya dan cenderung diam. Hopeless.

Siapa yang salah?

Aturan kah, pengawasan, atau memang tidak ada kesadaran masyarakat. Siapa yang paling pantas untuk memberikan contoh yang benar?

Satu kondisi yang membuat miris adalah, kembali ke cerita wisma atlit eks Asian Games 2018. Setelah dialihfungsikan dengan sangat cemerlang menjadi RS sementara dan lokasi karantina, maka sekarang ketika pandemi Covid telah berakhir, maka wisma atlit kembali berubah fungsi tanpa disengaja, menjadi bangunan terlantar, tidak terawat. Kalau ini jelas terjadi peralihan fungsi lagi tanpa direncanakan.

Apa sebenarnya akar masalahnya ?

Apakah masyarakat nya? Kondisi ekonomi, pengawasan, aparat penengakan hukum, budaya yang toleran? Rasanya memang sulit untuk mencari jawaban pasti atas kondisi ini. Berbagai faktor saling terkait, faktor sosial ekonomi masyarakat, budaya serta lemahnya fungsi kontrol dan penegakan hukum di Indonesia.

Apa yang bisa kita lakukan bersama?

Rasanya langkah tegas dalam pengawasan dan penindakan dapat dilakukan. Ini syarat utama. Jangan malah aparat ikut bermain dalam kondisi ini. Ini jelas memperburuk situasi.

Dibutuhkan perencanaan yang matang dan berkelanjutan, inipun juga merupaka porsi pemerintah.

Porsi kita sebagai masyarakat adalah membangun kesadaran, saling menjaga dan mengingatkan, dan secara proaktif dapat membangun lembaga atau komunitas pengawas yang independen. Paling tidak bisa memantau, memberikan informasi yang tepat, pendidikan dan berkoordinasi dengan pemerintah dan yang berwajib.

Ini pun sebenarnya sudah banyak dilakukan. Namun memang harus terus dilakukan perbaikan dan dilakukan dengan konsisten.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun