Mohon tunggu...
MILLA QONITA AZZAHRA
MILLA QONITA AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembiayaan Pembangunan Berkelanjutan dalam Penataan Ruang

10 Mei 2024   08:33 Diperbarui: 10 Mei 2024   08:33 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang memaksimalkan sumber daya alam yang masih tersedia. Pembangunan berkelanjutan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa membahayakan generasi mendatang, dengan menggunakan sumber daya dengan baik. Artinya generasi mendatang akan tetap merasakan pembangunan yang berjalan hingga saat ini. Dasar hukum dari pembangunan berkelanjutan adalah Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 yang sebelumnya dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 yang berisi mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Konsep pembangunan berkelanjutan meliputi pembangunan yang meningkatkan kesejahteraan hidup, memperbanyak sumber daya alam yang bisa diperbarui, menjaga kualitas hidup manusia, memanfaatkan sumber daya dengan baik dengan tidak boros dalam penggunaannya dan mengelola sumber daya untuk generasi di masa depan tanpa merusak lingkungan atau dengan memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Prinsip pembangunan berkelanjutan dalam bidang ekonomi meliputi peningkatan keterampilan pekerja sehingga dapat meningkatkan daya saing dengan harapan bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dan mendapatkan income yang lebih besar. Dalam pembangunan berkelanjutan penghematan energi harus dilakukan dengan cara memaksimalkan penggunaan energi yang bisa diperbarui dan mengutamakan pembangunan transportasi massal. 

Ekologi juga merupakan hal yang penting saat melakukan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang berbasis sumber daya alam tetapi tidak memperhatikan aspek kelestarian lingkungan akibatnya akan berdampak negatif pada lingkungan itu sendiri. Karena, pada dasarnya sumber daya alam dan lingkungan memiliki kapasitas daya dukung yang terbatas. Dengan maksud lain, pembangunan yang tidak memperhatikan kapasitas sumber daya alam dan lingkungan akan menyebabkan permasalahan pembangunan di kemudian hari. 

Pembangunan berkelanjutan harus dilakukan dengan atau melibatkan masyarakat luas dan pemerintah wajib memberikan fasilitas.  Masyarakat harus berperan aktif dalam proses pembangunan berkelanjutan. Untuk menampung aspirasi masyarakat, pemerintah dapat menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat. Selain itu, pemerataan juga menjadi fokus utama dalam pembangunan berkelanjutan. Dengan upaya tersebut diharapkan dapat mengurangi kesenjangan ekonomi. Selain itu, dengan memegang prinsip pemerataan, semua individu dalam masyarakat dapat memperoleh kesempatan yang adil. Tujuan pembangunan berkelanjutan mencakup pengentasan kemiskinan, ketahanan pangan, kesehatan yang lebih baik, pendidikan inklusif, kesetaraan gender, infrastruktur yang kuat, pola konsumsi dan produksi berkelanjutan, dan perubahan iklim. Ada lima indikator berkelanjutan yang meliputi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, politik, dan pertahanan keamanan.

Pembiayaan untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) membutuhkan pendekatan baru dan sumber pembiayaan non-konvensional. Pendekatan baru pembiayaan menjadi sangat diperlukan sehingga secara efektif dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan untuk mencapai target-target pada tahun 2030. Berdasarkan perkiraan UNCTAD, kebutuhan pembiayaan untuk SDGs adalah $3,8 triliun per tahun, sementara pembiayaan yang tersedia hanya $1,4 triliun per tahun, menghasilkan kesenjangan sebesar $2,5 triliun per tahun. Kesenjangan ini harus diisi oleh sumber pembiayaan baru yang perlu dikelola dengan cara baru.

Pembiayaan pembangunan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tabungan global saat ini mencapai sekitar 25% dari produk domestik bruto (PDB) dunia. Beberapa negara seperti China, Jepang, Korea, Singapura, dan Taiwan memiliki posisi tabungan sebesar 40% dari PDB negara-negara tersebut. Hal ini menunjukkan potensi investasi yang masih besar. Namun, yang penting adalah bagaimana cara efektif untuk memobilisasi dana-dana ini untuk mendukung investasi pembangunan berkelanjutan.

Salah satu kendala dalam memobilisasi investasi di negara-negara maju adalah rendahnya laba atas investasi sehingga investor enggan untuk berinvestasi. Sedangkan negara-negara berkembang dapat memberikan laba atas investasi yang lebih tinggi, para investor sering menghadapi kendala seperti masalah transparansi proyek, biaya transaksi yang tinggi, tingkat korupsi, dan kurangnya variasi model pembiayaan. Dalam menghadapi kebutuhan investasi yang semakin besar, investor non-pemerintah harus didorong untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) melalui skema pembiayaan baru yang menarik.

Inovasi-inovasi yang dilakukan untuk pembiayaan pembangunan berkelanjutan itu beragam. Beberapa lembaga internasional telah menggulirkan inovasi baru dalam pembiayaan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mengeluarkan konsep blended finance, yang dapat memobilisasi pembiayaan swasta dengan menurunkan tingkat risiko proyek yang tidak layak menjadi layak secara ekonomis. UNESCAP mengeluarkan konsep inovasi pembiayaan pembangunan (innovative financing for development), yang merupakan bentuk pembiayaan yang berbeda dari praktik standar dan memiliki dampak sosial-ekonomi dan lingkungan yang signifikan. Sebagai contoh, Thailand telah membentuk National Task Force on Social Impact Investment untuk melibatkan pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

India juga menggalang pembiayaan melalui UU Tanggung Jawab Sosial Korporasi (CSR) dengan fokus pada pencapaian tujuan tanpa kemiskinan, konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab, perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. India telah berhasil meningkatkan pengumpulan dana CSR dengan menyisihkan 2 persen keuntungan bersih untuk kegiatan CSR yang mendukung tujuan tersebut. Komitmen internasional seperti Busan Partnership for Effective Development, Addis Ababa Action Agenda, dan 2030 Agenda for Sustainable Development juga menekankan pentingnya peran sektor swasta dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Kesepakatan-kesepakatan tersebut menekankan partisipasi pelaku usaha dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan serta perlunya inovasi mekanisme keuangan untuk memobilisasi pembiayaan swasta.

Penataan ruang yang berkelanjutan harus melibatkan pendekatan yang memahami peran dan fungsi kota dan wilayah dalam konteks ekosistem. Konservasi ruang alami yang berfungsi ekologis perlu dilakukan dengan optimal untuk mempertahankan ruang tersebut sebagai bagian dari struktur ruang dan mengendalikan pemanfaatan ruang yang dapat mengurangi kapasitas fungsi ekologis. Selain itu, penyediaan ruang buatan seperti waduk, drainase, dan polder juga penting untuk mendukung fungsi ekologis.

Pengolahan limbah juga perlu diperhatikan dalam penyediaan ruang untuk melindungi fungsi ekologis. Optimalisasi pemanfaatan ruang terbangun dapat dilakukan melalui pengembangan kota kompak, dengan penggunaan lahan campuran, pembangunan vertikal, dan pengembangan sistem transportasi dan jalur pedestrian yang terintegrasi dengan guna lahan.

Namun, dalam implementasi penataan ruang, sering terjadi berbagai konflik kepentingan antara pemerintah, pengusaha, profesional, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum. Konflik antara sektor formal dan informal, serta antara sektor modern dan tradisional di perkotaan seringkali terjadi. Konflik juga muncul dalam perlombaan antara fasilitas publik seperti taman kota dengan bangunan komersial, serta menghilangnya bangunan bersejarah yang diganti dengan bangunan modern karena alasan ekonomi.

Untuk meningkatkan kualitas perencanaan ruang, beberapa usulan yang diajukan antara lain adalah orientasi jangka panjang yang ideal dengan penyelesaian masalah jangka pendek, penegakan mekanisme development control lengkap dengan sanksi bagi berbagai jenis pelanggaran dan insentif untuk ketaatan pada peraturan, penataanruangsecaratotal,menyeluruh danterpadu, peningkatan kepekaan sosio-kultural para penentu kebijakan dan profesional melalui forum pertemuan dan diskusi, perhatian lebih terhadap kekayaan lingkungan alam, serta memperhatikan keunikan setempat dan kearifan lokal dalam merencanakan dan membangun kota.

Semua ini harus didasarkan pada implementasi indikator-indikator pembangunan berkelanjutan yang seimbang antara pilar ekonomi, lingkungan, dan sosial. Dalam penyusunan rencana tata ruang kota/wilayah, indikator ini harus menjadi dasar pertimbangan untuk menciptakan kota yang memiliki jati diri dan mencegah homogenisasi kota dan tata ruang yang terjadi akibat fenomena globalisasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun