Assalamualaikum, Wr. Wb.
Beberapa hari yang lalu, masyarakat dihebohkan dengan demo sopir taksi di Jakarta. Beberapa diantaranya berujung anarkis. Para sopir ini menolak keberadaan jasa taksi berbasis digital seperti Uber, Grab dll. Mereka menganggap taksi online ini sebagai angkutan umum ilegal yang tidak berplat kuning, tidak bayar pajak dan berbagai macam alasan lainnya. Padahal jauh sebelum Uber dan Grab ada, masyarakat jakarta sudah mengenal yang namanya omprengan.
Dulu sewaktu masih di Jakarta, teman-teman yang tinggal di Bekasi dan Bogor setiap hari memanfaatkan jasa omprengan ini untuk menuju kantor di Jakarta Pusat. Mobil omprengan ini berplat hitam dan mudah sekali dikenali, kalau mobilnya berjenis mini bus berpenumpang 5-7 orang dan penumpangnya berjejal2an, bisa dipastikan itu mobil omprengan. Tarifnya dulu sekitar 10-20rb sekali jalan per kepala. Lalu pertanyaannya, mengapa operator taxi tidak ada ribut-ribut seperti sekarang? Jawabannya sederhana, karena tidak berdampak signifikan terhadap penghasilan. Toh, omprengan ga pernah terisi 1-2 penumpang, paling tidak 5 penumpang baru jalan. Apakah omprengan ini ilegal? Ntah lah.
Lalu muncul Uber dan Grab. Model bisnisnya ya sama saja seperti omprengan ini, menawarkan jasa transportasi dengan kendaraan pribadi. Bedanya, Uber dan Grab ini berbasis aplikasi smartphone. Pergerakannya pun masif serta disokong pemodal besar dibaliknya. Konflik pun muncul, dan mengerucut menjadi 2 kubu, taksi konvensional dan taksi online.
Mari kesampingkan perbedaan dari ijin-ijin seperti KIR, ijin usaha jasa transportasi dll. Kalau masalah pajak, mau taksi konvensional ataupun taksi online, semuanya kena pajak penghasilan baik perorangan dan badan. Perbedaan yang paling mendasar dari taksi konvensional dan taksi online adalah model bisnisnya. Pada taksi konvensional, umumnya kendaraan adalah aset operator jasa transportasi, pola hubungan perusahaan dengan sopir adalah pemberi kerja-pekerja, atas-bawah Sedangkan pada taksi online, kendaraan adalah aset masing-masing sopir, perusahaan hanya sebagai makelar, yang menghubungkan antara pemakai jasa dan pemberi jasa. Sehingga pola hubungan perusahaan dengan sopir adalah mitra, ada kesetaraan disini.
Dari sisi model bisnis dan pola hubungan saja, sudah bisa dipetakan dengan jelas sisi biaya dari perusahaan itu sendiri. Walaupun biaya ini sendiri bisa sangat banyak macamnya. Dalam bisnis, komponen dari harga salah satunya adalah biaya dan yang lainnya adalah keuntungan.
Lalu dimana letak sumber permasalahan yang menyebabkan konflik antara taksi konvensional dan taksi online? Tarif.
Ya, letak permasalahan yang paling mendasar adalah tarif atau harga bukan di warna plat kendaraan. Sepengetahuan penulis, tarif jasa transportasi ditetapkan pemerintah. Namun pemerintah hanya menetapkan tarif batas atas. Tujuannya untuk melindungi konsumen dari eksploitasi yang berlebihan oleh pemberi jasa transportasi. Nah, berdasarkan hasil penelitian kecil-kecilan, penulis menangkap akar permasalahan yang menyebabkan demo sopir taksi konvensional yang terjadi di Jakarta. Yang menjadi akar permasalahan adalah tarif bawah. Siapa yang menentukan tarif bawah ini? Adalah Organda di daerah itu sendiri.Â
Tarif buka pintu sendiri (base fare) untuk taksi konvensional sekitar Rp7.500 dan per KM Rp4.000. Sedangkan untuk taksi online, uber contohnya, dari situsnya, base fare adalah Rp3.000 (setengah harga taksi konvensional) dan per Km Rp2.000. Jelas saja, konsumen akan beralih ke harga yang paling murah. Toh, sama-sama mobil, pake ac juga. Inilah yang menyebabkan pendapatan taksi konvensional menurun drastis. Taksi konvensional tidak mungkin menurunkan tarif karena sudah terikat aturan organda bahwa batas bawah adalah RP7.500. Padahal, penerapan tarif bawah ini sudah termasuk praktik Kartel yang sangat merugikan konsumen. Praktik penerapan tarif bawah ini juga pernah terjadi di dunia telekomunikasi Indonesia. Karena praktik tarif bawah ini, konsumen terpaksa membayar sebesar tarif batas bawah walaupun pelayanan yang diberikan kurang dari nilai tarif tersebut.
 Di sini, di Kalimantan Barat, model jasa transportasi mirip Uber ini banyak, mereka menawarkan jasa transportasi antar kota dalam provinsi maupun dalam kota (namun lebih sering antar kota). Walaupun sama-sama berbasis teknologi, kalau uber sudah berbasis aplikasi, jasa transportasi di Kalbar berbasis SMS dan telepon. Para agen travel menjadi makelarnya, ya Uber atau Grab-nya lah kalau disini. Pola hubungannya juga mirip. Sopir dengan mobilnya menerima order dari agen travel untuk menjemput dan mengantar penumpang. Hasilnya dibagi proporsional. Taksi konvensional juga banyak disini. Lalu mengapa tidak timbul konflik seperti di Jakarta? Tarif batas bawah-lah yang menyatukan mereka.
Kalau anda berpergian keluar kota, naik yang plat kuning (konvensional) atau plat hitam (non-konvensional) ya tarifnya sama aja, sama-sama mahal.hehe. Soal kenyamanan? Ya sama aja, toh jalannya juga rusak berlubang-lubang. Jadi, dari pengalaman penulis di Kalbar, dapat disimpulkan kalau tarifnya sama baik itu konvensional maupun online, maka ribut-ribut seperti sekarang ini dapat dihindari.Â
Namun, konsumen jelas dirugikan. Harus membayar lebih mahal, padahal kalau tarif bawah dihapus, maka operator akan bersaing dari sisi harga, untuk bersaing di sisi harga, operator harus efisien dan memperbaiki layanan. Yang ujungnya jelas, konsumen akan diuntungkan.
Maka dari itu, penulis menyarankan agar pemerintah menghapus tarif bawah yang berlaku pada taksi konvensional dan menetapkan standar yang berlaku pada angkutan umum kepada armada yang dimiliki taksi online sehingga terjadi keadilan dalam persaingan usaha.
Pontianak, 23 Maret 2016 (Kulminasi)
Wassalam, wr, wb.
Â
*link menyusul,
*bobo ah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H