Deklarasi alumni PTS Dukung Jokowi, 22 Maret 2019, menurut laporan sejumlah berita, SEPI. Peserta terbanyak adalah bangku kosong. Tenis indoor senayan hanya diisi sekitar 500-an peserta, dari kapasitas 3.954 single seat.
Padahal, awalnya panitia mengatakan akan dihadiri 12 ribu alumni, lalu berkurang menjadi 4 ribu alumni, dan akhirnya yang hadir hanya 500-an alumni. Bisa dibayangkan kosongnya bangku-bangku di area tenis indoor Senayan!
Fenomena bangku kosong dalam acara deklarasi Jokowi, bukan kali ini saja. Beberapa contoh sebelumnya bisa kita lihat dalam deklarasi relawan Jokowi-Maruf di Kendari, Â yang diberitakan sepi. Tabligh akbar Kyai Maruf di Tanjung Morawa yang juga sepi.
Bangku kosong kembali menjadi peserta terbanyak dalam deklarasi Jokowi di Pekanbaru, di Kuansing, dan Pangkalan Bun Kotawaringin. Begitupun saat acara Digital Startup di Balai Kartini yang dibuka Presiden Joko Widodo, sepi. Bangku kosong menjadi peserta utama.
Sehingga, fenomena bangku kosong dalam acara deklarasi alumni PTS Sejabodetabek untuk Jokowi kemarin, bukanlah hal yang aneh. Yang justru aneh adalah ketika dalam beragam survei, elektabilitas Jokowi-Maruf digambarkan bisa mencapai 60 persen. Prabowo-Sandi ditempatkan hanya 28 hingga 33 persen.
Sementara dari media dan video yang banyak beredar, setiap Prabowo atau Sandi menyapa masyarakat, justru massanya membludak. "Pecah". Tapi potret survei, hanya 30-an bahkan di bawah 30 persen.
Dari sini bisa kita tarik kesimpulan, di era informasi yang sudah sangat melimpah, penelitian berbasis survei faktanya tidak lagi bisa dijadikan rujukan satu-satunya untuk memprediksi hasil pemilu.
Gambaran rilis survei saat ini, yang kental muatan politik dibanding ilmiahnya, juga perlu divalidasi dengan fakta sosiologis. Apalagi sudah ada catatan buruk hasil survei yang jauh berbeda dengan hasil akhir dalam pilkada-pilkada kemarin. Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jakarta. Hasil survei dari para konsultan politik, hampir semuanya meleset tajam.
Fenomena bangku kosong, yang bisa dilihat langsung, menunjukkan bahwa fakta sosiologis dukungan Jokowi-Maruf, tidak seindah angka-angka survei yang disuguhkan oleh kacamata konsultan.
Sehingga pilihannya kembali kepada kita. Mana yang mau kita percaya. Gambaran sosiologis yang bisa diamati langsung oleh penglihatan sendiri, atau gambaran survei yang sering diolah sedemikian rupa melalui penglihatan konsultan politik?
Muhammad Tri Andika
(Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies)