Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Semua Pasti Lemas Bila NU Halalkan NKRI Bersyariah

11 Agustus 2019   21:00 Diperbarui: 11 Agustus 2019   21:26 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah rekonsiliasi Joko Widodo dan Prabowo Subianto permasalahan Bangsa Indonesia tidak serta lenyap begitu saja. Masih banyak PR yang harus dikerjakan pemerintah, dicicil pengerjaannya setelah berdamainya dua kubu yang sempat berkompetisi memperebutkan kursi Presiden dan Wakil Presiden. 

Kerukunan dan keguyuban antar anak bangsa harus kembali dirajut dan dipulihkan setelah kontestasi Pilpres 2019 yang cukup menguras energi anak bangsa. 

Meski polarisasi yang tajam mengenai perseteruan 'cebong' vs 'kampret 'di tengah masyarakat sudah cukup mereda pasca pertemuan kedua tokoh politik tersebut, namun masih terdapat pergolakan politik yang tumbuh muncul di kalangan elite-elite Parpol. Eskalasi suhu politik di kalangan elite justru bertambah seiring dinamika perubahan konstelasi politik yang begitu signifikan terjadi.

Manuver-manuver politik silih dipertontonkan di hadapan publik. Melalui diplomasi yang terjadi di meja makan, masyarakat dipertontonkan bagaimana deal-deal politik bekerja dimainkan dengan selubung makan bersama. 

Pesannya jelas, meja makan adalah tempat kita berbagi dan makan bersama, pesan yang secara intrinsik menyampaikan pembagian porsi kue politik setelah Pilpres 2019 berjalan. Teuku Umar Vs Gondangdia menjadi headline yang paling disorot terkait diplomasi meja makan tersebut. 

Teuku Umar dengan diplomasi Nasi Goreng antara Megawati dan Prabowo Subianto. Gondangdia dengan Nasi Kebuli Surya Paloh dan Anies Baswedan. 

Kedua diplomasi itu adalah sebuah bentuk statement poltik yang begitu kontras. Teuku Umar dengan diplomasi Nasi Goreng membuka ruang merajut kehangatan politik yang sempat merenggang antara PDIP dan Gerindra, sekaligus membuka ruang dialog bagi Gerindra untuk masuk ke dalam koalisi pemerintah. 

Sementara Gondangdia pertemuan antara Surya Paloh dan Anies Baswedan adalah respon merajuk atas rujuknya PDIP dan Gerindra, sehingga memungkinkan Gerindra masuk ke dalam parlemen dan mendapat jatah Menteri dalam pemerintahan Jokowi berikutnya.

Rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo, juga diplomasi Nasi Goreng yang dilakukan oleh PDIP jelas membuat gerbong pendukung Jokowi gerah. 

Bagaimana tidak gerah, mereka harus berbagi tempat dengan seteru yang mereka lawan dalam Pilpres 2019 kemarin. Bukan hanya gerah, tapi juga berpotensi kehilangan jatah, yang barang tentu membuat banyak pihak yang merajuk. 

Bagaimana tidak merajuk jika jatah porsi kue yang didapat dari hasil Pilpres akan dikurangi sebab masuknya Gerindra. Nasdem menjadi Partai yang memberikan statement tegas atas potensi masuknya Gerindra yang akan mengurangi jatah kursi menteri yang tersedia untuk partai pendukung.

Nasdem memainkan manuever dengan jalan bertemu Anies Baswedan untuk membicarakan kans Pilpres 2014 nanti. Joko Widodo adalah orang yang disentil oleh Nasdem terkait pertemuan itu, pasalnya Nasdem tadinya adalah pendukung Jokowi garis keras, "Jokowi Presidenku, Nasdem Partaiku" begitu ungkap baliho besar yang banyak terpasang diberbagai daerah. 

Namun setelah rekonsiliasi dan diplomasi nasi goreng, presiden Jokowi seoalah tidak lagi jadi pilihan oleh Nasdem, Nasdem sekarang memproyeksikan pilihan politiknya ke Anies Baswedan.  

Nasdem secara instrinsik ingin menyampaikan kepada Jokowi bahwa Nasdem siap pindah dukungan jika Presdiden Jokowi lebih mengutamakan rekonsiliasi dan hasil diplomasi nasi goreng, ketimbang Nasdem yang telah berjuang keras memenangkan Jokowi-Maruf pada Pilpres 2019.

Jalan terjal merapatnya Gerindra ke dalam Pemerintahan Jokowi jelas mendapat berbagai macam tantangan. Bahkan Wapres Jusuf Kalla berkomentar jika Gerindra bersama Prabowo ingin masuk koalisi itu terserah, keputusannya  ada di tangan Jokowi dan Prabowo dan harus dengan seizin partai koalisi. 

"Tentang apakah itu Gerindra masuk koalisi, nanti terserah kepada Pak Jokowi dan Pak Prabowo, juga koalisi pemerintah yang ada. Karena kalau mau kawin kan harus ada persetujuan yang mau kawin dan juga keluarga dekat, ini anggaplah partai itu keluarga dekat. 

Kalau keluarga tidak setuju, susah juga dia kawin kan," ungkap Jusuf kalla di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan (30/7/2019).

Bergabungnya partai Gerindra ke dalam koalisi jelas akan mengundang resistensi dari partai pendukung yang berpotensi jatah menterinya berkurang bahkan tergusur. 

Dan yang mungkin paling tidak diperuntungkan dengan kondisi tersebut adalah PKB dan PPP dua partai yang berbasis dukungan warga Nahdatul Ulama (NU). 

Tidak bisa dipungkiri dukungan warga NU adalah kunci kemenangan Jokowi-Maruf. Kekuaatan NU menjadi kekuatan umat Islam yang begitu besar dalam mendukung pencapresan Jokowi-Maruf. Kekuatan NU jelas jauh lebih unggul, ketimbang dukungan umat Islam yang berafiliasi ke Prabowo-Sandi via PKS. 

PKB dan PPP menjadi partai motor yang menggalang kekuatan basis massa NU untuk merapatkan dukungan pada Jokowi-Maruf, juga menjadi Partai yang menggalang dukungan ulama-ulama Jawa pada Jokowi di 2019. Peran PKB dan PPP jelas besar bagi kemenangan Jokowi, terutama PKB. PKB yang dipimpin oleh Muhaimin Iskandar memastikan Jokowi mendapat dukungan warga NU secara penuh, juga mempertahankan dukungan Keluarga Wahid (Keluarga Mantan Presiden Gus Dur) pada Joko Widodo.

PKB menjadi partai yang begitu berperan bagi kemenangan Jokowi namun juga menjadi Partai yang paling riskan posisinya ketika Gerindra akhirnya masuk ke kubu Pemerintah. 

PKB sebagai Partai Politik begitu percaya diri mematok jatah 10 kursi Menteri jelas dengan alasan yang kuat, Muhaimin Iskandar tentu tahu dan pandai mengukur seberapa penting peran PKB bagi Pemerintah Jokowi. Muhaimin Iskandar pun memberi peringatan bagi Jokowi, agar jangan sampai masuknya Gerindra mengurang jatah menteri PKB. 

Urgensi dari masuknya Gerindra ke pemerintahan pun masih menyisakan pertanyaan, apakah untuk merekatkan persatuan bangsa ataua apa? "Koalisi pendukung Pak Jokowi itu sudah gemuk, 61 persen. 

Kalau ikutan gabung, nanti di parlemen enggak ada penyeimbang, kita lihat kebutuhan rekonsiliasi itu. Butuh atau enggak. Kalau memang itu jadi urgensi untuk kebersamaan, yah silakan, yang penting jangan kurangi jatah PKB,".

PKB pun pantas merajuk jika jatah Menterinya dikurangi. Dan pertanyaanya apakah PKB berani mengambil langkah berani untuk melakukan manuever politik dan mengambil ultimatum tegas  demi menjaga kans kursi Menteri di Pemerintah Jokowi-Maruf. 

PKB dan Muhaimin sebenarnya punya banyak pilihan, PKB bisa saja bermanuever layaknya Surya Paloh dengan menciptakan poros baru layaknya Gondangdia. PKB dengan motor warga NU tidaklah kecil, langkah politik yang dimainkannya jelas akan membuat peta politik berubah.

PKB bisa melakukan sebuah menuever ikut menelusuri Jalan Gondangdia. Tapi jika PKB menelusuri jalan itu jelas tidak bisa disebut sebuah langkah berani dan otentik, sebab hanya menjadi penyemarak saja. 

Kalaulah PKB dan Muhaimin Iskandar memang pengambil resiko dalam berpolitik mungkin PKB dan Muhaimin Iskandar bisa mencoba mencari jalan baru, mensintesiskan Ijtima Ulama IV dan Pemerintah, atau jika mau ekstrim PKB bisa gabung dengan barisan Ijtima Ulama dengan dalih bahwa pemerintah terlalu bising dengan perbincangan lobi-lobi pembagian kursi jabatan, lupa amanah rakyat dan pesan Umat Islam untuk terus memajukan Indonesia. PKB yang memiliki massa NU jelas akan sangat baik jika bergabung dengan barisan Umat Islam dalam barisan Ijtima Ulama. 

Pasca Prabowo Subianto dekat dengan Teuku Umar (PDIP), Barisan Habib dan Ulama-ulama yang terkumpul dalam barisan Alumni 212 seolah kehilangan sosok patron. 

Muhaimin Iskandar dan PK bisa mengambil alih kekosongan itu, Visi PKB dan NU secara garis besar tentu tidak akan jauh berbeda dengan cita-cita yang diupayakan oleh Ijtima Ulama mengenai kesejahteraan umat Islam. Yang perlu dipikirkan lebih lanjut adalah bagaimana mencari sintesis pemikiran NU dan Ijtima Ulama yang dinilai banyak memiliki corak HTI. 

Kesulitan mencari sintesa pemikiran NU dan Barisan Alumni 212 tersebut memang tidak mudah, tapi di situ letak tantangannya. Jika PKB bersama Muhaimin Iskandar berhasil melakukannya dengan apik, bukan tidak mungkin maka PKB akan berubah menjadi partai yang lebih besar lagi bahkan jika PDIP dan Gerindra digabungkan. 

Dan tentunya akan memiliki posisi tawar politik yang sangat tinggi. Dengan begitu tidak akan ada yang berani mengusik kursi PKB. Pertanyannya akankah PKB bersama Muhaimin Iskandar berani berlayar menempuh jalur itu?? Jelas sebuah pertaruhan politik tingkat tinggi yang penuh resiko, tapi menjanjikan keuntungan berlimpah jika berhasil. Mari kita tunggu.

Sumber: 12 34 5 6 7 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun