Kasus Makar dan senjata apai illegal terus menggelinding menjadi bola panas yang terus digaungkan oleh segelintir pihak. Motifnya jelas mempersimpit ruang gerak kubu pengkritik pemerintah dan aksi massa yang ingin menyampaikan aspirasi mereka secara terbuka. Berbagai macam tokoh nasioanal satu persatu mulai diproses secara hukum.
Mantan Komandan Korps Pasukan Khusus (Kopassus) dan Komandan Pusat Seni Infanteri (Pussenif) TNI Angkatan Darat Mayjen (Purnawirawan) Soenarko Mayjen (Purnawirawan) Soenarko menjadi salah satu tersangka yang diduga akan melakukan makar terhadap pemerintahan yang sah. Soenarko ditangkap atas kepemilikan senjata ilegal dan tudingan makar. Mantan Komandan Koppasus asal Medan, Sumatera Utara, tersebut dijebloskan ke sel Markas Polisi Militer Komando Daerah Militer (Pomdam) Jaya, Guntur, Jakarta Selatan, pada Senin, 20 Mei, malam.
Kasus tuduhan makar dan penyelundupan senjata ilegal itu sebenarnya belum jelas dan terang kepastiannya. Namun pemerintah memilih tindakan reaksioner dengan dalih menjaga stabilitas dan keamanan negara. Wiranto mengatakan tindak pengamanan pada oknum yang diduga akan melakukan makar pada pemerintah adalah tidakan tegas yang perlu diambil. "Memang ada hukumnya, tidak mengada-ada, tapi memang menjaga keamanan nasional dibutuhkan tindakan tegas seperti itu," ujar Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam keterangan pers di kantornya, Selasa, 21 Mei.
Menurut informasi, Soenarko memperoleh senjata api laras panjang jenis Colt M4 Carbine buatan Amerika Serikat. Senjata yang memiliki Laras 14,5 inci, peluru kaliber 5,56 milimeter, dan magasin berisi 30 peluru itu biasa digunakan militer Amerika Serikat. Saat Soenarko diciduk, ditemukan satu pucuk senjata api itu bersama dua magasin, peredam suara, tali sandang, dan tas senjata. Ditaksir harganya US$ 725 atau Rp 10,5 juta. "Satu (pucuk). Tetapi menguasai senjata api berat ilegal tidak diizinkan siapa pun. Itu ada hukumnya. Ada undang-undangnya dan tidak mengada-ada," ujar Wiranto.
Kepala Stap Kepresidenan Moeldoko pun mengamini adanya upaya penyelundupan senjata. Menurut informasi intelijen yang dia terima, ada  kelompok yang 'bermain' dan membuat ricuh saat pengumuman hasil Pemilu 2019 oleh KPU. Motif penyelundupan terindikasi untuk menciptakan isu adanya penembak jitu (sniper). Dan narasi akan adanya penembakan sudah diciptakan sebelumnya.
Terkait isu penyelundupan senjata api, nama Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pun ikut terseret. Penyelundupan senjata ilegal tersebut disinyalir adalah senjata sisa konflik GAM. Eks Menteri Pertahanan (Menhan) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman pun angkat suara terkait isu yang berdar tersebut.
Zakaria Saman memastikan bahwa senjat tersebut bukanlah sisa dari konflik GAM sebagaimana yang dituduhkan oleh beberapa pihak. "Itu bukan senjata sisa konflik. GAM tidak punya lagi senjata, sudah diserahkan semua, sudah dipotong," kata Zakaria. Menurutnya senjata tersebut adalah senjata yang diselundupkan dari sindikat mafia narkoba. "Jika ada sabu yang masuk ke Aceh pasti ada senjata. Itu untuk melindungi diri mereka. Saya berani menjamin itu karena sudah berlangsung sejak lama. Tidak mungkin mereka masuk ke Aceh tanpa dibekali senjata untuk melawan," ungkap Zakaria.
Perkara tuduhan makar dan penyelundupan senjata yang dialamatkan kepada Mayjen Soenarko pun mendapat bantahan dan klarifikasi dalam sebuah surat terbuka dari Kol. Inf. Sri Radjasa Chandra, mantan anak buah Pangdam Iskandar Muda. Surat  terbuka tersebut disampaikan kepada Menkopolhukam RI Jenderal (Purn) Wiranto, Kepala Staf Presiden RI, Jenderal (Purn) Moeldoko serta Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Kol. Inf. Sri Radjasa Chandra memberikan klarifikasi terkait tuduhan yang beredar.
Sri Radjasa Chandra mengatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Mayjen Soenarko bukanlah sebuah tindakan makar sebagaimana yang dituduhkan, melainkan sebuah upaya untuk menuntut keadilan dan melawan kecurangan Pemilu 2019. Sri Radjasa, juga menyatakan bahwa Soenarko tidak pernah menyeludupkan senjata M4, karena tidak memiliki senjata M4. Senjata yang diduga milik Soenarko adalah M16A short yang dimodifikasi. Sementara peredam yang ada adalah buatan sendiri bukan fabrikan. Terakhir senjata yang dikirim dari Aceh tanggal 19 Mei 2019 oleh seorang anggota TNI, sama sekali tidak dilaporkan, sebelumnya kepada Soenarko tentang adanya pengiriman senjata M16A1 short.
Pihak pemerintah semestinya dapat menahan diri dan bijak dalam membuat pernyataan pers yang cukup genting terkait penyelundupan senjata api. Jika memang investigasi dan penyelusuran informasinya belum lengkap, baiknya pemerintah tidak perlu sesumbar dan memberikan pernyataan pers. Sebab hal tersebut justru memperkeruh situasi politik, juga menimbulkan bias informasi yang tersebar di publik. Informasi yang bias dan belum lengkap jelas sangat mudah menciptakan kesalahpahaman. Juga peciptakan preseden buruk baik bagi pemerintah dan pihak oposisi yang terdutuh seoalah ingin menciptakan makar terhadap negara.
Pemerintah seharusnya tidak panik dan dapat berpikir jernih dalam mengendalikan situasi politik, jangan justru mamainkan orkestrasi informasi bias yang dapat menciptakan bola panas dan menimbulkan ketegangan politik. Pejabat terkait di pemerintahan pun seharusnya dapat mengendalikan diri untuk tidak genit dengan melemparkan pernyataan-pernyatan yang tendensius di media. Ini bulan baik dan penuh berkah, jangan ada dusta di antara kita.
Sumber:
Detik 1Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H