Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Indef: Pemerintah Harus Waspada, Jangan Berpuas Diri

9 Mei 2019   13:28 Diperbarui: 9 Mei 2019   13:47 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin lalu (6/5) Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2019 mencapai 5,07%. Meskipun hanya naik tipis dari 5,06% pada periode yang sama 2018, Kepala BPS, Suhariyanto mengapresiasi pertumbuhan ini di tengah pertumbuhan ekonomi global yang mengalami perlambatan. Tak hanya Suhariyanto saja, para pejabat negara seperti Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga menilai positif hasil temuan ini.

Melihat sikap Pemerintah yang terlalu cepat berpuas diri, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) kembali mengingatkan perekonomian Indonesia tak bergerak banyak dari kisaran 5%. Pasalnya, pada kuartal I-2019, perekonomian hanya mampu tumbuh sebesar 5,07% atau di bawah ekspektasi pasar sebesar 5,1% - 5,2%. Ekonom Senior Indef, Enny Sri Hartati mengatakan, tidak seharusnya pemerintah meng-"kambing hitam"-kan kondisi ekonomi global dan faktor eksternal, serta puas dengan kondisi tersebut.

Enny menyelentik, Indonesia basis pertumbuhannya itu di sumber daya. Hal ini berarti ketika pertumbuhan ekonomi tertahan di kisaran 5%, ada faktor ketidakmampuan pemerintah dalam mengoptimalkan pertumbuhan dalam negeri. Dia pun menelaah, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,07% tidak ada artinya jika indikator sumber pertumbuhan betul-betul memburuk.

Sektor pendorong utama pertumbuhan, konsumsi rumah tangga, tidak terbilang baik dan hanya mampu mencapai 5,01%. Ditambah lagi, enaikan sektor konsumsi juga dinilai tidak merata. Sektor konsumsi yang naik hanya makanan, pendidikan dan kesehatan. Enny pun berasumsi jika kenaikan tersebut didorong oleh keberadaan BPJS, Bansos dan lainnya. Sedangkan sektor konsumsi lainnya seperti sandang dan perumahan semuanya turun.

"Nah jadi artinya apa? Kita ketika cermati data itu yang alami kenaikan hanya makanan, artinya konsumsi makanan ada dampak dari kenaikan hajatan politik kemarin, konsumsi yang meningkat hanya habis di perut, yang lain tak ada!" tegasnya.

Investasi yang digadang-gadang sebagai penggerak pertumbuhan tahun ini pun bergerak melambat. Enny menilai, penurunan investasi ini bukan dikarenakan kondisi global tapi berasal dari dalam domestik sendiri. Pasalnya saat ini banyak investor yang meminta izin ke BPKP tetapi masih tertahan. Dia pun membandingkan dengan kinerja investasi negara emerging market lainnya seperti Thailand dan Vietnam yang meskipun terdampak perang dagang tapi masih bisa tumbuh.

Sementara itu, dari sisi sektor usaha Indef juga melihat Suheriyanto kurang tepat dalam menyampaikan kondisi pada kuartal I 2019. Suhariyanto mengatakan kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan terhadap PDB tercatat tumbuh ekspansif sebesar 14% dibandingkan kuartal sebelumnya. Padahal, jika dibandingkan dengan triwulan yang sama tahun sebelumnya sektor pertanian, perhutanan dan perikanan mengalami penurunan menjadi 1,81% dibanding 2018 sebesar 3,34%.

Selain sektor pertanian, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menyebutkan masih ada sektor industri pengolahan, sektor transportasi dan pergudangan, serta sektor konstruksi yang kontribusinya terhadap PDB terus menurun. Sektor transportasi mengalami perlemahan dari 8,56% pada tahun 2018 menjadi 5,25% pada 2019. Perlemahan ini terutama terlihat pada transportasi udara yang diakibatkan kenaikan harga tiket pesawat yang drastis pada Januari 2019.

Selanjutnya pada sektor konstruksi kontribusinya juga turun  drastis, dari 7,35% pada 2018 menjadi 5,91% pada 2019. Mandeknya kontribusi sektor konstruksi disebabkan Pemerintah belum banyak memulai untuk belanja infrastruktur, serta permintaan terhadap sektor properti masih stagnan. Begitu juga dengan sektor industri pengolahan yang digaung-gaungkan merespon revolusi industri 4.0, ternyata kontribusinya justru turun dari tahun 2018 sebesar 4,6% menjadi 3,86% pada 2019.

Dengan kondisi ini, Ekonom Institute for Development of Economic and Finance Andry Satrio Nugroho menimpali, target pemerintah terhadap pertumbuhan industri yang mencapai 5,4 persen sulit tercapai. Dia menilai, industri manufaktur harus tumbuh di atas pertumbuhan ekonomi apabila pemerintah ingin pertumbuhan secara nasional terdongkrak naik.

Untuk menggenjot pertumbuhan ini, Andry menuturkan, pemerintah perlu meningkatkan ekspansi penambahan modal untuk sektor manufaktur. Dalam arti lain, investasi di sektor manufaktur perlu ditingkatkan, melampaui dominasi investasi masih di sektor jasa.

Dengan indikator-indikator tersebut, maka wajar jika Indef pesimis jika pemerintah dapat mencapai target pertumbuhan ekonomi 2019 mencapai 5,3 persen. Bukannya mengakui kekurangannya dan mencoba memperbaiki masalah, Pemerintah justru melempar kesalahan ke faktor eksternal. Padahal kondisi di dalam negeri justru membutuhkan perhatian yang lebih mendesak.

Jangan sampai ketika kondisi global membaik, kita masih "gini-gini ajah"....

Sumber:

rmol.co
republika.co.id
cnbcindonesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun