Mohon tunggu...
Milisi Nasional
Milisi Nasional Mohon Tunggu... Freelancer - Buruh Tulis

Baca, Tulis, Hitung

Selanjutnya

Tutup

Politik

Desak Pecat Budi Karya

8 Mei 2019   15:49 Diperbarui: 8 Mei 2019   16:06 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: WartaEkonomi.com


Selasa sore (07/05) jagad Twitter tetiba diramaikan dengan tagar #PecatBudiKarya yang sempat memuncaki daftar trending topic di Indonesia. Kebencian masyarakat dunia maya (netizen) Indonesia terhadap Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi sepertinya telah memuncak. Naiknya tarif ojek online (ojol) dalam seminggu ini menjadi puncak kekecewaan setelah banyak persoalan lain dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub).

Jika dirunut lebih lanjut, awal mula kekecewaan masyarakat berangkat dari harga tiket pesawat yang tidak terjangkau sejak 2018. Bayangkan saja, harga tiket Jakarta-Surabaya untuk keberangkatan Jum'at (10/5/2019) paling murah mencapai Rp840.500 untuk orang dewasa (penelusuran situs Traveloka, 8 Mei 2019). Padahal harga tiket serupa hanya berkisar Rp350.000-an pada tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, harga tiket ke Singapura dari Jakarta di waktu yang sama hanya Rp550.000. Padahal Singapura adalah destinasi mancanegara, jaraknya sekitar 1.278km, lebih jauh dari 500km selisihnya dari Jakarta ke Surabaya (berdasarkan aplikasi Google Maps).

Masih segar dalam ingatan, salah satu program dari Presiden Joko Widodo adalah pemerataan ekonomi dari Sabang sampe Merauke. Tidak hanya moda transportasi darat dan laut, moda transportasi udara juga dianggap salah satu unsur pemerataan ekonomi. Oleh karena itu banyak bandara baru dibangun dalam empat setengah tahun terakhir. Akan tetapi, pembangunan ini tidak diiringi dukungan oleh industri, sehingga wajar jika banyak bandara baru yang sepi, seperti Bandara Internasional Kertajati.

Melihat rekam jejaknya, memang tidak salah jika akun twitter @PartaiSocmed melabeli Budi Karya Sumadi sebagai tipe pejabat ABS (Asal Bapak Senang). Contoh sikap ABS Budi Karya bisa dilihat ketika masih menjadi Direktur Utama PT Angkasa Pura II (Persero). Menhub sebelumnya, Ignasius Jonan yang selalu berbicara berlandaskan fakta, Budi Karya menyampaikan kepada Presiden bahwa Terminal 3 Ultimate Bandara Soekarno-Hatta sudah siap beroperasi.

Namun Jonan sebagai Menhub saat itu melihat masih banyak masalah dalam proses pembangunan Terminal 3 Ultimate. Maka diputuskan terminal baru tersebut belum bisa beroperasi sebelum Lebaran seperti harapan Presiden. Berbeda dengan Jonan yang mengatakan apa adanya Budi Karya adalah tipe pejabat yang akan mengatakan apapun untuk menyenangkan atasannya. Maka pada 27 Juli 2016 Jonan kena reshuffle dan diganti oleh Budi Karya Sumadi!

Di bawah kendali Budi Karya, Terminal 3 Ultimate yang digadang-gadang sebagai kebanggan Indonesia itu dipaksakan dibuka pada bulan Agustus 2016. Dan benar saja! Tidak begitu lama, Terminal 3 Ultimate berubah jadi aib bagi bangsa karena banyaknya masalah. Mulai dari lampu mati sampai kebanjiran hebat.

Wanprestasi Budi Karya bukan hanya itu saja. Beliau juga dikenal relatif 'kurang bersih' karena di setiap lembaga yang dipimpinnya selalu terjadi kasus korupsi. Perlu untuk diketahui, ketika menjadi Dirut PT Pembangunan Jaya Ancol, muncul kasus korupsi pengalihan penggunaan lahan milik DKI Jakarta di Ancol Beach City Mall yg merugikan negara sekitar Rp 515 Milyar. Selain itu, sebagai Dirut Angkasa Pura II, terjadi kasus PKJL. Budi Karya memenangkan tender PT Nindya Karya padahal perusahaan tersebut melanggar Kerangka Acuan Kerja (KAK) dalam proyek PKJL.

Dan yg paling memukul pemerintahan Jokowi adalah kasus mega korupsi Hubla yg terjadi ketika Budi Karya menjabat Menhub. Dimana Dirjen Hubla kena operasi tangkap tangan (OTT) dan akhirnya di vonis 5 tahun penjara. Atas kasus mega korupsi tadi di depan hakim Dia mengaku lengah antisipasi korupsi. Dengan rekam jejak seperti ini maka seharusnya Presiden mempertanyakan kapabilitasnya sebagai pemimpin, atau indikasi pembantu yang dipilihnya itu merupakan bagian dari korupsi itu sendiri.

Maka tidak mengherankan jika banyak yang menganggap Budi Karya juga lebih berperan sebagai jubir kartel maskapai penerbangan Menhub. Keberpihakannya bukan pada persaingan usaha untuk menguntungkan masyarakat, tapi pada kartel korporasi yang membuat masyarakat suka tidak suka harus terima pada harga mahal. Atas melonjaknya harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar itu Budi Karya dengan entengnya bilang agar masyarakat ikhlas terima kenaikan harga tiket pesawat.

Padahal harga minyak global tahun ini masih relatif lebih rendah. Rata-rata harga minyak Brent sepanjang kuartal I-2019 tercatat lebih rendah hingga 5,04% dibanding rata-rata kuartal I-2018. Diketahui komponen bahan bakar memiliki andil yang paling besar dalam pembentukan biaya operasional penerbangan.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan sudah tiga bulan berturut-turut (Februari-April) mengalami inflasi. Bahkan dalam beberapa kesempatan konferensi pers, Kepala BPS, Suhariyanto juga mengungkapkan asalan inflasi di kelompok tersebut utamanya adalah kenaikan harga tiket pesawat. Dampaknya juga dapat dilihat dengan kasat mata. Jumlah penumpang angkutan udara domestik sepanjang kuartal I-2019 anjlok hingga 17,66% dibanding kuartal I-2018.

PT Angkasa Pura I (AP I) juga mencatat jumlah penumpang yang berangkat lewat bandara yang dikelolanya turun sampai dengan 3,5 juta orang pada kuartal I 2019. Direktur Pemasaran dan Pelayanan AP 1 Devy Suradji mengatakan ada 35 ribu jadwal penerbangan yang terpaksa tidak dilanjutkan selama tiga bulan pertama tahun ini. Beberapa ada yang sengaja dibatalkan dan slot yang tidak digunakan.

Tak berhenti sampai di situ, dampaknya juga meluas ke Tingkat Penghunian Hotel (TPK). Tercatat selama 3 bulan pertama 2019 (Januari, Februari, Maret), TPK di Indonesia selalu berada jauh di bawah tahun sebelumnya. Rata-rata TPK Indonesia sepanjang kuartal I-2019 hanya sebesar 52,26% yang mana turun 2,8 persen poin dibanding kuartal I-2018 yang mencapai 55,07%. Artinya bukan hanya konsumen yang kemungkinan besar tidak suka kepada Budi Karya, namun pelaku industri pariwisata pun demikian.

Memang, sudah ada kebijakan penetapan tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk membuat persaingan usaha antar maskapai penerbangan lebih sehat. Tapi kenyataannya kebijakan tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan, karena ternyata tarif batas atas yang ditetapkan dinilai masih terlalu tinggi.

Tak hanya tarif pesawat, tarif ojek online pun dibuat bak roller coaster oleh Kemenhub. Dengan adanya tarif tersebut, pengemudi memang berpotensi meningkatkan pendapatan sekitar 30%. Namun begitu pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna. Dampaknya tentu saja akan menurunkan permintaan (demand). Bahkan salah satu aplikator ojol, Gojek, secara terang-terangan mengatakan bahwa terjadi penurunan permintaan yang membuat perusahaan tersebut sempat tidak lagi memakai tarif baru.

Sebagai informasi, seharusnya ada masa uji coba tarif baru selama satu minggu mulai tanggal 1 Mei 2019. Namun setelah tiga hari diterapkan, Gojek memutuskan memakai tarif lama tanggal 4 Mei 2019. Satu hari berselang, Gojek secara tiba-tiba mengumumkan penggunaan (lagi) tarif baru yang ditetapkan oleh pemerintah.

Perlu diingat bahwa dalam dunia usaha ada hubungan yang tidak searah antara permintaan dengan harga suatu produk. Bila harga yang ditetapkan jauh di atas harga keseimbangan (equilibrium), alih-alih keuntungan meningkat, yang ada malah rugi karena sepi permintaan. Kecuali kalau memang tujuan kementerian adalah untuk mengalihkan pengguna transportasi ke moda yang lain, seperti busway, angkot, atau kereta. Akan tetapi, dengan puluhan juta mitra yang menggantungkan hidupnya, persoalannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.

Sepanjang karirnya sebagai Menhub, tidak ada terobosan yang dilakukan oleh Budi Karya. Kemacetan di kota besar, utamanya Jakarta, masih menjadi problem utama. Bahkan kemacetan yang melanda ke daerah-daerah ketika musim liburan menjadi headline pemberitaan. Tol laut yang seharusnya di bawah bimbingannya juga tidak terdengar kiprah manisnya. Yang ada justru beragam persolan baru yang muncul silih berganti. Apakah Presiden Jokowi tidak memiliki kesadaran akan hal ini? Atau ada kekuatan lain yang melindungi Budi Karya sehingga tetap empuk di kursinya?

Sumber:
cnbcindonesia.com
chirpstory.com
cnnindonesia.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun