Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), kelompok pengeluaran Transportasi, Komunikasi, dan Jasa Keuangan sudah tiga bulan berturut-turut (Februari-April) mengalami inflasi. Bahkan dalam beberapa kesempatan konferensi pers, Kepala BPS, Suhariyanto juga mengungkapkan asalan inflasi di kelompok tersebut utamanya adalah kenaikan harga tiket pesawat. Dampaknya juga dapat dilihat dengan kasat mata. Jumlah penumpang angkutan udara domestik sepanjang kuartal I-2019 anjlok hingga 17,66% dibanding kuartal I-2018.
PT Angkasa Pura I (AP I) juga mencatat jumlah penumpang yang berangkat lewat bandara yang dikelolanya turun sampai dengan 3,5 juta orang pada kuartal I 2019. Direktur Pemasaran dan Pelayanan AP 1 Devy Suradji mengatakan ada 35 ribu jadwal penerbangan yang terpaksa tidak dilanjutkan selama tiga bulan pertama tahun ini. Beberapa ada yang sengaja dibatalkan dan slot yang tidak digunakan.
Tak berhenti sampai di situ, dampaknya juga meluas ke Tingkat Penghunian Hotel (TPK). Tercatat selama 3 bulan pertama 2019 (Januari, Februari, Maret), TPK di Indonesia selalu berada jauh di bawah tahun sebelumnya. Rata-rata TPK Indonesia sepanjang kuartal I-2019 hanya sebesar 52,26% yang mana turun 2,8 persen poin dibanding kuartal I-2018 yang mencapai 55,07%. Artinya bukan hanya konsumen yang kemungkinan besar tidak suka kepada Budi Karya, namun pelaku industri pariwisata pun demikian.
Memang, sudah ada kebijakan penetapan tarif batas atas dan tarif batas bawah untuk membuat persaingan usaha antar maskapai penerbangan lebih sehat. Tapi kenyataannya kebijakan tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan, karena ternyata tarif batas atas yang ditetapkan dinilai masih terlalu tinggi.
Tak hanya tarif pesawat, tarif ojek online pun dibuat bak roller coaster oleh Kemenhub. Dengan adanya tarif tersebut, pengemudi memang berpotensi meningkatkan pendapatan sekitar 30%. Namun begitu pula biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna. Dampaknya tentu saja akan menurunkan permintaan (demand). Bahkan salah satu aplikator ojol, Gojek, secara terang-terangan mengatakan bahwa terjadi penurunan permintaan yang membuat perusahaan tersebut sempat tidak lagi memakai tarif baru.
Sebagai informasi, seharusnya ada masa uji coba tarif baru selama satu minggu mulai tanggal 1 Mei 2019. Namun setelah tiga hari diterapkan, Gojek memutuskan memakai tarif lama tanggal 4 Mei 2019. Satu hari berselang, Gojek secara tiba-tiba mengumumkan penggunaan (lagi) tarif baru yang ditetapkan oleh pemerintah.
Perlu diingat bahwa dalam dunia usaha ada hubungan yang tidak searah antara permintaan dengan harga suatu produk. Bila harga yang ditetapkan jauh di atas harga keseimbangan (equilibrium), alih-alih keuntungan meningkat, yang ada malah rugi karena sepi permintaan. Kecuali kalau memang tujuan kementerian adalah untuk mengalihkan pengguna transportasi ke moda yang lain, seperti busway, angkot, atau kereta. Akan tetapi, dengan puluhan juta mitra yang menggantungkan hidupnya, persoalannya tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Sepanjang karirnya sebagai Menhub, tidak ada terobosan yang dilakukan oleh Budi Karya. Kemacetan di kota besar, utamanya Jakarta, masih menjadi problem utama. Bahkan kemacetan yang melanda ke daerah-daerah ketika musim liburan menjadi headline pemberitaan. Tol laut yang seharusnya di bawah bimbingannya juga tidak terdengar kiprah manisnya. Yang ada justru beragam persolan baru yang muncul silih berganti. Apakah Presiden Jokowi tidak memiliki kesadaran akan hal ini? Atau ada kekuatan lain yang melindungi Budi Karya sehingga tetap empuk di kursinya?
Sumber:
cnbcindonesia.com
chirpstory.com
cnnindonesia.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H