Pendapatan petani tebu di Indonesia dalam dua tahun terakhir terus mengalami kerugian. Karena harga gula terus merosot tidak sebanding dengan biaya untuk proses produksi. Soemitro Samadikoen, Ketua Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) pada diskusi publik di Hotel Bukit Daun, Kediri, Selasa (9/4/2019), pun menyalahkan impor gula yang tidak terkendali.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto mengatakan, dalam pelaksanaan di lapangan, sistem kuota impor pangan di Indonesia memang terjadi sejumlah penyimpangan dan moral hazard, misalnya dalam kasus suap gula impor yang melibatkan petinggi DPD RI yang mencuat beberapa waktu kebelakang.
Pemerintah seharusnya tahu, dengan menerapkan impor berbasiskan kuota, maka akan terjadi monopoli. Dari situ muncul ketidaktransaparanan, yang pada akhirnya akan menciptakan kartel. Importir akan berusaha merebut kuota impor tersebut, apabila importir merasa tidak cukup percaya diri untuk mendapatkan secara fair maka dia melakukan tindakan melanggar hukum.
Eko juga menuturkan, instrument impor memang bisa terpaksa dijadikan pilihan apabila memang kebutuhan pangan dalam negeri cukup besar namun produksi lokal tidak mencukupi. Untuk melaksanakannya bisa dengan skema kuota dan nonkuota. Skema nonkuota atau dilepas ke mekanisme pasar memang cenderung tidak populer, namun bisa menciptakan persaingan sehat dari sisi bisnis.
Sistem kuota memang bagus dari aspek presisi kebutuhan impor, namun dalam kenyataannya yang mendapatkan kuota hanya pihak tertentu, tidak transparan, dan persolaan data di lapangan kerap berbeda- beda. Padahal data ini menentukan teknis kuota. Pengawasan system kuota ini berat, ada kepentingan politik dan pengusaha. Sebaliknya system nonkuota/tarif akan membangun mekanisme pasar lebih sehat.
Seakan menanggapi analisis Eko, Mantan Menteri Koordinator Bidang Maritim Rizal Ramli menyatakan kebijakan impor beras yang dilakukan Kementerian Perdagangan merupakan akibat dari permainan kartel produk pangan yang selalu menempel di pemerintahan. Kuatnya mereka membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun tidak berkutik menghadapi tekanan impor.
Menurutnya, kalau ingin jalannya pemerintahan menjadi benar dan posisi Jokowi mendapat dukungan rakyat, maka pemerintah harus membenahi sistem kartel tersebut. Salah satunya caranya adalah dengan menghapus sistem kuota impor yang selama ini menyuburkan praktik kartel. Rizal optimis hal yang berbeda akan diterapkan jika calon presiden Prabowo Subianto menjadi presiden, dengan menambal kebocoran dan menghapuskan kartel impor, pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8 persen pada 2020.
Jika tidak ada kartel impor, Rizal yakin harga daging dan gula akan lebih murah 70 persen dibandingkan saat ini. Dari situ, kata Rizal, secara tidak langsung pemerintah Prabowo setiap bulan akan membuat ibu-ibu berhemat Rp1 - 2 juta. Dari penghematan itu, kata Rizal, ibu-ibu bisa gunakan uangnya belanja lagi. Jika ibu-ibu belanja, menurut dia, ekonomi ritel akan lebih hidup lagi.
Dengan langkah itu, kata dia pertumbuhan ekonomi bisa meningkat 1 persen. Selain menghapuskan kartel impor, Rizal masih memiliki jurus lainnya untuk bisa mendorong pertumbuhan ke 8% sesuai kampanye Prabowo. Masih yakin tidak pilih Paslon 2?
Sumber:
beritasatu.com
tempo.co
sindonews.com