Sepanjang 2019, Pemerintah Republik Indonesia (RI) berencana menerbitkan 10 seri surat berharga negara (SBN) ritel untuk pembiayaan anggaran/proyek negara. Direktur Surat Utang Negara Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Loto Srinaita Ginting mengatakan, di tahun ini ada 10 instrumen S ritel yang bakal diterbitkan. Nilainya, setara 9-10 persen dari total Surat Berharga Negara (SBN) bruto sebesar Rp 825 triliun.
Dalam kacamata Pemerintah, SBN ritel ini bisa menjadi alternatif produk investasi yang aman lantaran pembayaran pokok dan imbalannya dijamin negara. Sementara, imbalan/kupon yang ditawarkan juga lebih tinggi dibandingkan rerata bunga deposito bank.
Melihat jumlah utang Indonesia yang semakin membengkak, pemerintah seakan tutup mata dan terus menambahnya untuk membiayai proyek tanpa melihat efeknya terhadap industri keuangan. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani menyebut, upaya pemerintah menerbitkan 10 Surat Berharga Negara (SBN) ritel sepanjang 2019 dapat mengancam likuiditas. Alasannya, imbas penerbitan SBN ritel ini akan memicu terjadinya perebutan dana masyarakat antara perbankan dengan pemerintah.
Seperti dijelaskan oleh Pemerintah, SBN Ritel ditawarkan sebagai alternatif investasi masyarakat. Minimal pembelian SBR sebesar Rp1 juta dan maksimal sebesar Rp3 miliar. Pembelian SBR dapat dilakukan dengan kelipatan Rp1 juta. Berbeda dengan SBN lainnya seperti Surat Utang Negara (SUN) maupun Sukuk Negara yang hanya ditawarkan terbatas, utamanya kepada korporasi, SBN Ritel dapat diakses oleh individu. Sehingga Aviliani mengkhawatirkan adanya perpindahan nasabah dari Deposito ke SBN Ritel ini.
Mengapa harus dikhawatirkan? Perlu diketahui saat ini perbankan sedang dalam kondisi likuiditas keuangan yang mengetat. Beberapa tahun belakangan ini, dana pihak ketiga perbankan tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan kredit. Tahun lalu, Loan to Deposit Ratio (LDR) BUKU III sudah menyentuh 103%, dan BUKU IV mencapai 97%. Perbankan membutuhkan suntikan dana dari masyarakat untuk mengimbangi nilai kredit yang sudah terlalu besar dibandingkan dana yang dimiliki.
Di lain sisi, imbuh Aviliani, langkah makroprudensial yang dilakukan bank sentral, misalnya aktivasi termin repo reguler, dan pelonggaran Giro Wajib Minimum (GWM) dinilainya juga merupakan solusi jangka pendek. Karena dana operasional perbankan memang sumber utamanya adalah dana dari masyarakat. untuk bank besar di BUKU III dan IV mungkin bisa menerbitkan surat utang. Akan tetapi, pilah untuk bank BUKU I dan II hanya dapat dipenuhi dengan membina dana masyarakat.
Sebelumnya, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja bilang memang terjadi peralihan dana pihak ketiga (DPK) perbankan tiap pemerintah merilis SBN ritel. Di tengah kesulitan perbankan dalam mengumpulkan dana masyarakat, Pemerintah dengan mudahnya mengeluarkan SBN Ritel yang berpotensi menambah derita industri perbankan. Dengan kupon/bunga lebih tinggi dibandingkan deposito, kata Aviliani, masyarakat kelas menengah akan cenderung memindahkan deposito ke obligasi yang diterbitkan pemerintah.
Padahal, operasional perbankan saat ini sangat membutuhkan dana segar untuk mengimbangi penyaluran kredit yang "terus didorong pemerintah". Dalam berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo selalu mengigatkan perbankan untuk mengambil resiko dan meningkatkan kreditnya kepada usaha kecil secara masif. Akan tetapi, dengan kondisi likuiditas seperti ini, tidak sedikit bank yang terancam.
Tentunya masih segar dalam ingatan bagaimana Krisis likuiditas Asia tahun 1998 yang berdampak kepada Indonesia. Diawali dengan pengetatan likuiditas oleh BI karena nilai tukar Rupiah yang terus menurun, pada September 1997, Bank Indonesia harus menutup 16 bank gagal. Dari situ, seperti bola salju yang menggelinding, efeknya terus menjalar sehingga memporak-porandakan perekonomian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H