Mohon tunggu...
Meilia Ulfah
Meilia Ulfah Mohon Tunggu... lainnya -

Mahasiswa Ekonomi yang ingin menanamkan karakter sesuai pancasila, agama, dan budaya bangsa kepada anak-anak melalui Dongeng....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kejutan Sang Waktu

24 Desember 2013   09:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:33 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

09.13 WIB.

Tawa keluarga kecilku pecah ketika melihat polah adik kecilku, Zahra. Seolah-olah bibir kami ingin terus tersenyum saat melihat tingkah lakunya yang lucu.

“Zahra, peluk bunda sini,” Kata bunda dengan nada gemas kepada malaikat kecilnya itu.

“Nda mau, Zahra mau sama ayah,” Dengan tubuhnya yang gendut dan pipi bakpau stroberi ia berlari menuju pelukan laki-laki yang ia panggil ayah.

Ya… pagi ini, diruang keluarga yang sederhana terasa begitu hangat. Hangat akan selimut cinta dan tawa dari setiap anggotanya. Bahkan matahari, burung dan embun iri dan ingin bergabung dengan keluarga ini.

***

09.18 WIB.

Tanpa melihat ruangan, kedua adikku berlari dan saling mengejar. Ruang keluarga yang sempit ini terasa lapangan sepak bola bagi mereka.

“Kakak mau hadiah apa kalau juara kelas lagi?” Tanya bunda dengan membelai halus rambut panjangku.

“Emmm, Disney Land?” Kataku sambil melirik ke arah bunda.

“Loh… itu besok kalu kakak sudah lulus UN dan masuk SMP, 2 tahun lagi,” Jawab ayah dengan senyum yang mengembang dari bibirnya.

“Kenapa harus dua tahun lagi? Aku yakin dua tahun lagipun aku masih jadi juara kelas, jadi apa bedanya dengan sekarang?” Batinku mulai mengerutu.

“Abang, ade jangan kejar-kejaran nanti jatuh,” Bunda mencoba memperingatkan kedua adikku itu.

“Ayah… ade berhasil nangkep abang,” Zahra mulai mengadu.

“Eh… baru sekali aku dah tiga kali yah,” Iqbal tak mau kalah.

“Iya… ayah tau,” Jawab ayah sambil merangkul dua buah hatinya itu.

***

09.20 WIB.

“Ayo yah tanda tangan disini,” Kata Iqbal bersemanagat. Hadiah bola basket dari ayah atas keberhasilanya memenagkan lomba basket.

“Bola ini akan aku pajang di dekat piala Kak Shifa. Dan akan ada tanda tangan orang hebat dibola ini, ayahlah orang hebat pertama yang tanda tangan disini,” Dengan lantang dan bangga ia bicara.

“Lah… terus kamu latihannya pakai apa?” Tanya ayah.

“Disekolah ada bola basket, kok yah,” Iqbal tersenyum puas.

“Ya… terserah Abang Iqbal, dan.. jadilah pemain basket yang handal, ok jagoan!” kata ayah sambil melayangkan tos tangan ke Iqbal.

“Zahra juga mau yah, Zahra mau kaya Barbie.” Kata Zahra lucu.

“Nanti boneka Barbie Zahra ditaruh diantara piala Kak Shifa dan bola Abang Iqbal,” Katanya dengan tubuh yang terus bergerak.

“Ok, tos dulu sama ayah,” Zahra menerima ajakan itu dengan senyum kepuasan.

Bunda melihat kami begitu bangga. Dari wajahnya terlukiskan rasa syukur yang begitu dalam.

“Terimakasih tuhan,” Kata Bunda dalam lubuk hatinya.

Celotehan impian Zahra, Iqbal dan aku terus ayah dan bunda dengarkan. Senyuman dan dukungan itulah jawabanya. Dari kami bertiga tak ada yang mau mengalah tentang sebuah impian. Kami terus menyebutkan impian yang paling tinggi dan mungkin… butuh kekuatan extra untuk meraihnya.

“Ok, Ayah dan bunda doain deh, supaya kalian bisa memujudkan impian kalian,” Kata ayah semangat.

“Amin,” Jawab bunda singkat. Dan angan-anganpun berlanjut.

***

09.24 WIB.

“Prakkkkkk”

Segelas teh hangat di dalam cangkir jatuh kelantai. Ruangan dengan taburan cinta itu seketika berubah menjadi hujan air mata dan kecemasan. Serasa waktu berhenti sekian detik untuk menyadarkan kami atas keaadaan yang terjadi.

“Ayah!” Teriak bunda memecah keheningan dalam kecemasan.

Tubuh yang tadi kekar dan bersemangat, kini lemah dan kejang-kejang. Tubuhnya dingin tanganya terus memegang dadanya, mulutnya terus merintih kesakitan, dan wajahnya semakin pucat.

“Sakit bun,” Rintih ayah.

“Ayah kenapa? Ayah!” Teriak bunda.

“Shifa jaga ayah sebentar, bunda hubungi rumah sakit dulu,” Bunda beranjak dan melepaskan gengaman ayah.

Aku memegang tangan ayah erat, hatiku mencoba menyemangati ayah untuk bertahan. Semuanya semakin panik, Zahra memecahkan tangisannya dan Iqbal mencoba menenagkan Zahra walaupun ia sendiri ketakutan.

“Ayah,” Panggilku lirih.

“Bunda, bunda,” Zahra menagis ketakutan.

“Sa….. sakit,” Aku eratkan genggamanku.

“Ayah bertahan,” Iqbal berbisik. Bunda terus mencoba menghubungi, cemas itulah yang ada dalam dirinya saat ini. Tanganya bergetar mencari nomor rumah sakit, Fikiranya tak fokus, bibir serta hatinya terus berdoa.

“Bunda,” Zahra semakin kencang menagis. Aku tak peduli.

“Bertahan ayah, bertahanlah,” Aku terus berbisik kepada ayah.

Waktu seakan berhenti lagi, ayah melepaskan genggamanku tubuhnya semakin dingin, matanya terpejam perlahan, denyut nadi menghilang. Mataku terbelalak, ludahku berhenti di kerongkongan.

“Ayahhh,” Suara mencoba keluar dari kerongkonganku.

“Ayahhhhhhhhh,” Iqbal berteriak di iringin tangisah Zahra yang menjadi.

Bunda menjatuhkan gagang telefon. Berlari mendekat, mencoba menyadarkan ayah, namun semuanya sia-sia,

“Innalilahiwainailaihirojiun,” Kata bunda lirih dengan air mata yang jatuh dengan derasnya. Dan ketika itu, air mata yang tertahan sejak tadi jatuh dengan derasnya.

***

09.33 WIB.

Toa masjid mulai merong-rong bersahutan mengabarkan berita duka. Rumah kecil yang nyaman ini mulai ramai kedatangan tamu dengan pakaian hitam. Dan kini, didepan mataku laki-laki yang gagah itu telah terbujur kaku dengan baju putih.

“Yang sabar ya,” Kata itu semakin sering aku dengar.

Ya… waktu memang misteri. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Aku dan kedua adiku harus memahami tanpa ada sebuah penjelasan tentang apa yang terjadi akan tragedy yang saat ini kami alami. Mungkin... seiring berjalanya waktu, kami sanggup menegrti dan menerimanya dengan lapang hati. Kerena waktu…. Tak dapat kembali.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun