Mohon tunggu...
M Ilham Nurjaman
M Ilham Nurjaman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kebebasan

Ketegaran dan Tawa~ Ia yang tertawa di atas ketegaran, akan menangis karena ketegaran.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pembantaian Suku Aborigin dan Perlawanan Suku Indian di Tanah Amerika

26 Desember 2023   23:04 Diperbarui: 26 Desember 2023   23:05 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perspektif Giambattista Vico: "Sejarah Itu Berulang"

Peristiwa sejarah, tentunya tidak akan terlepas dari keterkaitan dan keterikatan antara manusia, ruang, dan waktu. Keberadaan manusia dapat mempengaruhi ruang yang ada disekitarnya. Manusia memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan ruang disekitarnya atau lingkungan tempat ia tinggal. Seiring berjalannya waktu manusia yang tersebar di berbagai penjuru bumi memiliki kemampuan yang berbeda dalam beradaptasi dengan lingkungannya masing-masing bahkan mengalami perubahan bentuk fisik.

Selama jutaan tahun, manusia telah berevolusi dengan peradaban yang telah dibuatnya. Pada masa lampau manusia modern atau homo sapiens dapat membangun peradaban dan membentuk sebuah masyarakat. Perkembangan manusia dapat diperhatikan dari peradaban yang telah mereka bangun.[1] Perkembangan peradaban manusia tidak dapat terbendung, dan akan terus mengalami perubahan disetiap masanya. Perubahan tersebut dipengaruhi berkembangnya kemampuan berpikir manusia untuk mencari tahu akan fenomena-fenomena yang terjadi di sekitarnya.

 

Kesadaran manusia akan pentingnya berpikir kritis akan fenomena yang terjadi disekitarnya melahirkan pengetahuan-pengetahuan yang akan bermanfaat dan membantu manusia. Dengan lahirnya pengetahuan maka akan menjadi faktor pendorong dari berkembangnya peradaban-peradaban yang dibangun oleh manusia. Seperti pengetahuan akan iklim dan cuaca, dapat mempengaruhi bagaimana manusia berkebun mengandalkan musim-musim yang dapat diperkirakan dengan pengetahuan tersebut, dan banyak lainnya.

 

Dalam perkembangan peradaban manusia ini terdapat sebuah keunikan yaitu, sebuah siklus peristiwa yang berulang. Dalam buku Filsafat Sejarah karya Ajid Thohir dan Ahmad Sahidin, menjelaskan bahwa perkembangan sejarah tidak dipandang pada sebuah garis lurus, tetapi berbentuk seperti cakra atau lingkaran. Dapat dijelaskan bahwa sejarah itu berputar sehingga peristiwa sejarah dapat terulang. Perjalan siklus ini dapat dicontohkan misalnya mengenai perkembangan zaman. Zaman keemasan dapat mengalami semacam kemunduran kemudian pada akhirnya nanti mengalami kepunahan dan akan kembali lagi menjadi jaya kembali. Fenomena tersebut tidak terpatok pada masa sekarang, masa lalu, atau masa yang akan datang. Karena itu, dapat dikatakan teori siklus ini hanha menitikberatkan pada perputaran keadaan suatu sejarah tanpa memperhitungkan konsep temporal.[2]

 

Sejarah bukan hanya bercerita tentang hal yang bahagia atau baik. Tetapi sejarah juga bercerita tentang kepahitan dan kegelapan dan kekelaman yang terjadi. Sejarah tidak dapat dirubah, tetapi masa depan berada dalam genggaman kita, dengan mempelajari sejarah setidaknya kita dapat memahami peristiwa-peristiwa yang terjadi tentunya memiliki sebab dan akibat yang berkesinambungan sehingga dengan memahami sejarah kita dapat mengantisipasi peristiwa kelam agar tidak terjadi lagi.

 

Salah satu peristiwa kelam yang tercatat dalam sejarah ialah perlawanan suku Indian di tanah Amerika untuk mempertahankan wilayah mereka dari pasukan Angkatan Darat AS (yang merupakan keturunan bangsa Eropa yang tiba sekitar abad ke-16) pada tahun 1890. Peristiwa ini sebelumnya pernah terjadi di masa yang berbeda dan tempat yang berbeda namun memiliki pola yang sama yaitu pembantaian yang terjadi di tanah Australia terhadap suku Aborigin. Kemiripan ini dapat dikaitkan dengan teori siklus yang telah disebutkan di atas.

 

Dalam mengkaji peristiwa ini penulis juga menggunakan sudut pandang dari seorang tokoh filsuf sejarah abad ke-17 yaitu Giambattista Vico (1668-1744) yang berpendapat bahwa sejarah itu berulang (memiliki pengulangan) Namun, bukan berarti sejarah itu mengulangi dirinya sendiri. Menurut Vico Sejarah itu berputar dalam gerakan spiral namun mengalami perubahan pada peristiwa-peristiwa yang terjadi dan seterusnya.

 

  • Peristiwa Perlawanan Suku Indian terhadap Angkatan Darat AS (Keturunan Eropa)

 

Suku Indian ialah suku asli yang menempati dataran Amerika sejak dahulu sebelum datangnya bangsa 'kulit putih' Eropa pada abad ke-16 ke Benua ini. Mereka tetap bertahan di tanah lahirnya hingga terjadi peristiwa kelam pada sekitar tahun 1890-an yang menewaskan banyak sekali penduduk suku Indian. Peristiwa ini merupakan pembantaian yang dilakukan pasukan Angkatan Darat AS yang diisi oleh orang kulit putih.

 

Pembantaian sekitar 300 pria, wanita, dan anak-anak Lakota oleh pasukan Angkatan Darat AS pada tahun 1890, menandai peristiwa tragis selama beberapa dekade dari konfrontasi antara Amerika Serikat dengan suku Indian. Sepanjang tahun 1890, orang-orang Lakota atau Suku Indian ini mengalami kekeringan dan wabah campak, batuk rejan, dan influenza. Di tengah kondisi yang sulit, orang-orang Lakota juga mendapat tekanan dari pemerintahan kulit putih yang menduduki Amerika Serikat.[3]

 

Peristiwa ini dilatarbelakangi oleh keputus asaan suku Indian (orang-orang lakota) karena mengalami kekeringan, wabah campak, dan influenza. Yang kemudian dalam masa sulit tersebut suku Indian mendapatkan tekanan dari pemerintahan kulit putih yang menduduki Amerika Serikat. Pemerintah kulit putih melarang ritual Tarian Matahari yang merupakan ritual dan upacara keagamaan penting bagi suku Indian. Belum lagi suku Indian tidak dapat bepergian secara bebas tanpa meminta izin terlebih dahulu pada pemerintah kulit putih.

 

Ditengah kondisi sulit tersebut, suku Indian menginisiasi serangan dengan cara yang unik, yaitu dengan Tarian Hantu (Ghost Dance) yang meresahkan orang-orang kulit putih. Suku Indian meyakini bahwa tarian ini akan mengantarkan mereka pada masa depan utopis, di mana bencana alam akan menghancurkan Amerika Serikat, dan membasmi koloni kulit putih dari benua ini.

 

Ketika tarian ini mulai menyebar, orang-orang kulit putih yang merasa ketakutan percaya bahwa itu merupakan awal dari pemberontakan bersenjata. Sehingga pemerintah mengeluarkan larangan tarian itu dan mengerahkan pasukan bersenjata menuju Dakota, pemukiman orang lakota (suku Indian) di tepi Wounded Knee.

 

Melihat kedatangan dan tindakan Angkatan Darat AS yang mengepung permukiman Lakota, seorang dukun Lakota justru melakukan Tarian Hantu untuk membendung penyerbuan koloni kulit putih.

 

Pada saat tentara berusaha merebut senjata dari orang Lakota tersebut tiba-tiba terdengar tembakan yang tidak jelas asalnya dan pihak mana yang memulainya, dalam hitungan detik tentara Amerika menyapu bersih semua suku Indian yang ada di hadapanya. Tidak pandang bulu mereka membantai wanita dan anak-anak. Hingga sedikitnya 150-300 orang tewas bersama 25 tentara Amerika.[4]

 

  • Peristiwa Pembantaian Suku Aborigin

 

Suku Aborigin merupakan suku pribumi yang menghuni Australia sebelum kedatangan Inggris. Kehadiran Inggris di tanah Australia sedikit banyak memberikan memori dan luka yang mendalam bagi suku Aborigin. Karena Inggris melakukan pembantaian selama 120 Tahun.

 

Tak lain diawali oleh keserakaha akan sumber daya alam yang ada di Australia, emas yang ditemukan pada 1851 mendorong kedatangan Inggris untuk merampas tanah di Australia, inilah yang menjadi penyebab konflik berdarah.

 

Kasus pembantaian pertama, terjadi di Tasmania pada 1806. Ratusan penduduk pribumi ditembak atau dikeroyok dengan benda tajam sampai tewas. sepanjang 1824 hingga 1908 setidaknya sekitar 10 ribu suku Aborigin tewas terbunuh. Itu di luar kematian wajar.[5]

 

Dari kedua peristiwa yang terjadi di atas dapat kita analisis dengan teori yang telah dijelaskan mengenai berulangnya peristiwa sejarah yang diungkapkan oleh Giambattista Vico. Bahwa kedua peristiwa tersebut memiliki kesamaan yaitu terbantainya, serta terusirnya suku asli pribumi oleh bangsa penjajah dengan cara yang keji. Bahkan hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai peperangan, lebih tepat kita simpulkan sebagai Genosida. Genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau sekelompok suku bangsa dengan maksud memusnahkan bangsa tersebut. [6] Kita dapat melihat bahwa pola dari suatu peristiwa dapat terjadi dan dapat berulang meskipun peristiwa itu berbeda.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun