Dalam perkembangan teknologi yang kian maju dapat dikatakan hampir di dunia ini tidak ada manusia yang tidak memiliki barang elektronik. Kenapa barang elektronIk menjadi sangat penting ? salah satu jawabannya yang paling umum yakni dapat memudahkan pekerjaan kita dalam segala hal. Mulai dari pekerjaan yang biasa hingga pekerjaan yang luar biasa.
Seiring dengan meningkatnya barang elektronik, undang-undang mengenai eletronik pun sudah ada di dunia salah satunya di negara kita sendiri. Apa tujuan undang-undang ITE di rumuskan ? yup, jawabannya karna untuk melindungi diri kita dari pada penyalahgunaan elektronik itu sendiri.
Dikalangan para artis mungkin bukan hal yang asing lagi bagi kita dengan kasus pencemaran nama baik, tindak pelecehan seksual dan lain sebagainya. Tapi pernahkan anda membayangkan penyebab dibalik itu semua adalah penggunaan elektronik yang salah ? berangkat dari penggunaan yang salah itulah sehingga harus ada antisipasi untuk itu karena dengan peralatan yang canggih manusia bisa saja melakukan berbagai hal yang mereka inginkan termasuk editan foto yang berbau fornografi. Hal ini pastinya sudah menyalahi norma yang ada, terlebih lagi jika foto kita yang di jadikan target. Nah, inilah makanya undang-undang ITE itu penting dan harus ada, supaya mereka tidak sewenang-wenangnya melakukan sesuatu yang sangat merugikan bagi kita yang mungkin bagi mereka itu menghibur.
Undang-Undang ITE bab VII pasal 27 ayat 3 tentang perbuatan yang dilarang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”. Pasal diatas merupakan pasal yang paling terkenal dalam undang-undang ITE, karena hampir sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah pencemaran nama baik yang sesuai dengan pasal diatas. Tindak hukuman pidananya pun tak main-main yakni hukum pidana 6 tahun dan denda uang sebesar 1 milyar. Anda pasti sering mendengar pepatah mengatakan “mulutmu adalah harimaumu”, mengapa demikian, karena berangkat dari omongan atau tulisan kita dimedia sosial kita bisa saja dikenai sanksi, sehingga yang namanya etika dalam berbicara itu sangat penting.
“Flo, sapaan Florence tiba-tiba terkenal setelah pada tanggal 28 Agustus 2014 menulis di Path tengan kekesalannya karena tidak bisa menyerobot antrian pertamax di SPBU Jogjakarta. Perempuan asal Medan, Sumatera Utara ini menuliskan “Jogja miskin tolol dan tak berbudaya. Teman-teman Jakarta-Bandung jangan mau tinggal di Jogja”. Sejumlah teman Flo me-repath capture posting-an itu dan langsung tersebar di internet. Setelah posting-an Path tersebut tersiar, sejumlah cuitan Flo di Twitter yang ditulis beberapa hari sebelumnya, yang salah satunya menyinggung Sri Sultan, juga beredar. Flo pun sempat ditahan polisi atas perkar itu berdasar laporan sejumlah LSM Jogjakarta. Atas jaminan keluarga dan UGM, tempat Flo menimbah ilmu kenotariatan di S-2 fakultas hukum, penahanan Flo pun ditangguhkan.”( http://www2.jawapos.com). Diatas merupakan salah satu contoh kasus pencemaran nama baik yang terjerat ke dalam pasal 27 ayat 3 yang sempat mencuat di media.
Pasal 27 ayat 3 undang-undang ITE sempat mendapat kontroversi dari berbagai pihak terutama bagi pihak yang merasa dirugikan dengan pasal tersebut karena merasa hanya ingin menyampaikan pendapat malah harus dikenai sanksi pencemaran nama baik. Mereka terkadang merasa bahwa dengan pasal tersebut haknya untuk menyampaikan gagasan terkekang tapi sebenarnya tidak, karena undang-undang ITE pasal 27 ayat 3 dibuat untuk melindungi nama baik dan kehormatan pribadi bukan menjadi ajang balas dendam.
Seiring dengan bertambah banyaknya aplikasi chatingan yang ada, kita sekarang dimanapun dan kapanpun bisa berkomunikasi dengan banyak orang dan juga lebih memudahkan kita untuk menyampaikan pendapat kita ke publik terlebih lagi apabila kita aktif didunia maya atau di media sosial. Menyampaikan pendapat di media sosial itu boleh asalkan tidak ada unsur niat ingin mencelah/menghina, menjelek-jelekkan ras atau kelompok tertentu. Sehingga tidak ada pihak yang merasa dirugikan sama sekali disini.
Awal mula undang-undang ITE pasal 27 ayat 3 muncul pun dikarenakan banyaknya orang mulai menyimpang dari fungsi dan tujuan penggunaan media elektronik itu sendiri. Aplikasi chatingan yang seharusnya digunakan untuk berkomunikasi dan menambah hubungan pertemanan dijejaring sosial malah cenderung untuk menghina, mencela atau mengadu domba dll. Dengan munculnya pasal ini tentu pengguna jejaring sosial lebih bisa membawa diri bagaimana menjadi pengguna media sosial yang baik. Apakah dengan pasal ini kebebasan berpendapat di muka umum itu lebih dibatasi ? tidak, karena kebebasan berpendapat di muka umum sudah diatur dalam undang-undang tersendiri.
Tapi walaupun undang-undang ITE mengenai pencemaran nama baik sudah ada bukan berarti semuanya harus diselesaikan dengan melalui hukum. Karena dalam hal ini juga berkaitan dengan masalah pribadi. Sehingga jika ada masalah seperti itu sebaiknya diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi atau secara kekeluargaan dan jika memang tidak menemukan titik puncak penyelesaian baru melangkah ke proses hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H