Mohon tunggu...
Mila UrfaTaufiq
Mila UrfaTaufiq Mohon Tunggu... Lainnya - Sebelas Maret University

Psychology

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tilik: Kearifan Lokal dalam Perspektif Psikologi Budaya Jawa

12 Oktober 2022   10:00 Diperbarui: 12 Oktober 2022   10:02 1257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia memiliki kekayaan yang sudah diakui dunia sejak dahulu kala, selain kaya akan keindahan alamnya Indonesia juga kaya akan ragam nilai budaya sebagai kearifan lokal salah satunya adalah Budaya Tilik. Kegiatan menjenguk (Tilik) merupakan sebuah budaya dan tradisi masyarakat Jawa yang masih terus dilakukan hingga hari ini. Tilik juga menjadi kearifan lokal yang senantiasa dilestarikan dan menyebar di seluruh wilayah Jawa terutama Jawa Tengah, Jawa Timur serta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Disebut kearifan lokal karena Tilik juga termasuk salah satu adat dan kebiasaan yang telah menjadi tradisi, dilakukan oleh sekelompok masyarakat secara turun-temurun dan masih bertahan hingga saat ini. Kearifan lokal dapat tercipta apabila pola pikir masyarakat memiliki budi pekerti yang baik, cinta tanah kelahiran, serta perangai atau tabiat masyarakat di daerah tertentu tetap menempel dan dibawa ketika berbaur dengan kelompok masyarakat/lingkungan yang berbeda serta turun temurun dari generasi ke generasi.

Tilik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti penglihatan yang teliti, sinar (pandangan) mata, tenung, teluh, yang memiliki kata turunan menjadi menilik. Menilik memiliki makna melihat dengan sungguh-sungguh, mengamat-amati, memeriksa, mengawasi, memandang, melihat (meninjau), dan menjenguk. Budaya Tilik dapat berupa aktivitas menjenguk orang sakit, mengunjungi bayi yang baru lahir, mengunjungi saudara atau teman yang kembali dari menunaikan ibadah haji, serta takziah ke tempat orang yang meninggal, dengan tujuan memperkuat dan menjaga tali silaturrahmi.

Setiap budaya selalu mengajarkan nilai-nilai tertentu, demikian juga budaya Jawa yang biasanya mengajarkan nilai-nilai kerukunan, kejujuran, hormat, tepo sliro, sopan santun, eling lan waspodo, sabar sareh narimo, tulung tinulung atau tolong menolong, andhap ashor, prasojo dan sebagainya (Lestari, 2016). Perilaku riil merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat karena sejatinya nilai akan memberi arah seseorang dalam berperilaku dan mengambil keputusan. Salah satu nilai masyarakat Jawa yang paling menonjol adalah tulung tinulung atau tolong menolong. Manifestasi nilai tersebut tampak dalam berbagai kegiatan sosial, salah satunya kegiatan Tilik yang mana dalam kegiatan ini masyarakat biasanya ikut membantu baik tenaga, psikis, maupun materi.

Tolong menolong juga sangat dianjurkan dalam Agama Islam, seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an Surah Al-Maidah (5): 2 yang artinya: “…dan tolong menolonglah kamu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran…”. Tulung tinulung juga dikenal dengan istilah prososial. Prososial merupakan perasaan, tanggungjawab, dan perhatian seseorang kepada kesejahteraan orang lain dalam hal ini terdapat kerjasama dan pengabdian pada orang lain. Karakteristik nilai prososial ini diantaranya adalah adanya sharing (berbagi), caring (peduli), teamwork (kerjasama tim), perhatian serta tenggungjawab terhadap sesama manusia (Lim, 2007).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa nilai prososial yang tinggi biasanya tampak pada masyarakat dengan budaya yang kolektif. Hal tersebut selaras dengan Budaya Jawa yang cenderung kolektif, sama seperti budaya Indonesia pada umumnya. Budaya kolektif masyarakat Jawa menggambarkan konsep sosial yang kuat karena terdapat perbedaan jelas antara didalam kelompok dan diluar kelompok (Hofstede, 1980; dalam Tamsil, 2021). Pada masyarakat kolektif, hubungan kekeluargaan dan kelompok merupakan definisi kualitas keidupan yang baik. Masyarakat Jawa rela meluangkan waktu bahkan menyisihkan sebagian rezekinya untuk ikut serta bersama warga lainnya menjenguk warga yang sakit, lahiran, pulang haji, maupun meninggal karena bisa saja suatu saat mereka bergantian mengalami peristiwa tersebut sehingga tumbuhlah rasa simpati dan empati antar sesama yang dapat mengukuhkan kerukunan dalam masyarakat. Selain itu, terdapat sanksi sosial secara tidak langsung bagi warga yang tidak berpartisipasi untuk Tilik, sehingga dapat menjadi kontrol sosial yang bersifat otomatis.

Budaya Tilik apabila dilihat dari perspektif psikologi budaya jawa tampak kaya akan nilai sikap dan prinsip hidup masyarakat Jawa (Astuti, 2017) diantaranya adalah:

1.  Sikap Tenggang rasa (Tepo Seliro)

  • Sikap tenggang rasa  merupakan wujud penghargaan antar sesama manusia, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda (Susila., dkk 2020). Sikap hormat dalam budaya Jawa dapat berupa hormat dalam bersikap maupun hormat dalam bertutur kata. Budaya Tilik merepresentasikan sikap tenggang rasa (tepo seliro) dengan menjenguk orang yang sakit, menjenguk orang yang pulang dari beribadah haji, bertakziah, serta menjenguk bayi yang baru lahir menghadirkan rasa simpati dan empati dalam segala kondisi. Sikap hormat juga merupakan kesadaran dalam bersikap terhadap orang tua, sanak saudara, guru serta orang lain.

2. Sikap Tanggungjawab dan Tolong- menolong

  • Sikap tanggungjawab dalam kegiatan Tilik ini tercermin dari bagaimana warga desa melakukan berbagai hal untuk menjenguk orang lain meski terkadang terkendala jauhnya jarak dari desa ke rumah sakit dan lain-lain. Cara orang desa mulai dari menyewa kendaraan, mengumpulkan iuran, menetapkan jadwal tilik merupakan wujud pelaksanaan rasa tanggungjawab sebagai tetangga. Sedangkan sikap tolong-menolong dalam kegiatan Tilik ini tercermin dari warga yang membantu mempersiapkan acara, menghibur warga yang kehilangan keluarganya, serta membantu secara finansial untuk menunjang biaya pengobatan.

3. Sikap Kerjasama dan gotong royong

  • Kerjasama dan gotong royong merupakan sikap masyarakat Jawa yang bekerja tanpa pamrih atau mengharap upah. Dalam kegiatan Tilik, warga bekerjasama tanpa memandang status untuk membantu warga yang sedang kesulitan atau membutuhkan bantuan. Masyarakat Jawa terkenal dengan etos kebersamaannya, tradisi gotong royong ini merupakan salah satu upaya masyarakat untuk menjaga kekerabatan dan solidaritas.

4. Sikap Ber-Musyawarah

  • Masyarakat Jawa identik dengan kebiasaan berembug atau musyawarah dalam menyelesaikan permasalahan baik dalam tataran individu maupun kelompok. Kebiasaan menyelesaikan masalaah secara bersama-sama ini juga tercermin dalam kegiatan Tilik dimana warga berembug untuk menentukan waktu yang tepat untuk menjenguk, transportasi apa yang akan dgunakan, berapa iuran yang akan dibayarkan, serta menyampaikan informasi penting lainnya sebelum keberjalanan kegiatan Tilik dilakukan. Musyawarah dilakukan warga desa sebagai solusi untuk mencapai kesepakatan (mufakat).

Berdasarkan prinsip adigang adigung adiguna (menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaian) kegiatan Tilik juga memiliki makna manusia hendaknya tidak menyombongkan kelebihan yang dimiliki sehingga tidak membedakan cara dalam memperlakukan keluarga maupun orang lain. Dalam kegiatan Tilik ini meskipun yang dijenguk memiliki strata sosial yang lebih rendah, anak buah atau asisten rumah tangga misalnya, tidak ada unsur pilih kasih, hal tersebut berarti Budaya Tilik mematuhi ungkapan nasihat untuk tidak membeda-bedakan (emban cindhe emban siladan). Kegiatan Tilik biasanya dilakukan secara bersama-sama dengan mengendarai transportasi umum sewaan seperti mini bus, truk pick-up maupun truk pengangkut. Menaiki kendaraan bersama-sama selaras dengan filosofi hidup masyarakat Jawa yang gemi nastiti ngatiati atau hemat, teliti dan waspada karena apabila kegiatan tilik dilakukan sendiri-sendiri maka akan menimbulkan pemborosan biaya (Tamsil, 2021). Dengan menaiki transportasi umum sewaan bersama-sama akan meringankan biaya transport karena pembayaran dilakukan menggunakan sistem iuran bersama warga.

‘Mangan ora mangan kumpul’ ungkapan tersebut yang juga mencerminkan kultur sosial Budaya Tilik yang berarti masyarakat Jawa senang berkumpul walaupun tidak ada makanan (dalam keadaan susah) yang bertujuan untuk memperkuat silaturahmi dan saling menguatkan antar sesama. Tilik merupakan budaya yang mengajak masyarakat untuk saling peduli, berbagi, gotong royong serta guyub rukun yang sudah mengakar terutama bagi masyarakat pedesaan di Jawa. Semakin tinggi strata seseorang yang akan dijenguk, maka semakin besar jumlah orang yang datang menjenguk. Solidaritas antar warga akan menumbuhkan rasa persatuan serta kesatuan yang mendukung terjalinnya kerukunan sehingga warga tetap kompak dalam melakukan kebaikan. Kuatnya solidaritas social biasanya muncul karena adanya kesamaan ciri-ciri sosial ekonomi, budaya, dan tujuan hidup yang diimbangi dengan kontrol sosial melalui norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat.

Budaya Tilik merupakan warisan asli budaya Jawa yang mengangkat pola keseharian masyarakat Jawa pada umumnya. Inti dari Tilik adalah saling menguatkan serta merekatkan kembali satu sama lain. Tilik biasanya dilakukan secara bersama-sama, bagi masyarakat Jawa apabila ada tetangga yang sakit, maka tetangga terdekat akan bermusyawarah dengan tetangga lainnya untuk melakukan tilik serta memberikan sedikit uang untuk meringankan biaya pengobatan keluarga yang sakit. Budaya yang dilakukan masyarakat Jawa ini merupakan bentuk tulung-tinulung, gotong-royong, tanggung jawab, serta sikap tepo seliro.  Budaya Tilik bagi orang yang sakit dan kehilangan anggota keluarga dapat menjadi support system untuk lekas pulih dari sakit serta penghiburan akan kesedihannya sehingga dapat berkumpul kembali dengan keluarga dan beraktivitas bersama warga. Sedangkan bagi yang menjenguk dapat menambah rasa syukur pada Tuhan atas kesehatan dan kesempatan yang diberikan, dengan menjenguk orang sakit dapat memperkuat solidaritas antar warga. Selain itu, Tilik bagi orang yang lahiran dan pulang dari haji merupakan suatu ungkapan rasa syukur atas kelahiran serta keselamatan dalam perjalanan beribadah ke tanah suci Mekkah.

Daftar Pustaka

Astuti, C. W. (2017). Sikap Hidup Masyarakat Jawa dalam Cerpen-Cerpen Karya Kuntowijoyo. Jurnal Kata: Penelitian tentang Ilmu Bahasa dan Sastra, 1(1): 64-71.

Lestari, R. (2016). Transmisi Nilai Prososial Pada Remaja Jawa. Indigenous: Jurnal ilmiah Psikologi, 1(2).

Lim, K.M. 2007. Development of Prosocial Values : Serving Learning as a Strategy. Youth Guidance : Issues, Interventions & Reflections, 28 – 40. Singapore : Pearson Education.

Satata, D. B. (2021). Analisis Hubungan Interpersonal dalam Film 'Tilik" pada Perspektif Psikologi. Jurnal Dinamika Sosial Budaya, 23 (1) : 108-114.

Tamsil, I. S. (2021). Kearifan Lokal Budaya Jawa dalam Film "Tilik". Jurnal Simbolika: Research and Learning in Communication Study (E-Journal), 7 (2): 152-165.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun