Mohon tunggu...
Mila C
Mila C Mohon Tunggu... -

zzz

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Aku dalam Realisme

15 Maret 2011   06:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:47 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika ditanya, "orang seperti apakah kamu?", aku akan menjawab realis. Ya, realis. Aku selalu melihat segala sesuatu apa adanya berdasarkan fakta, tidak lebih dan tidak kurang. Aku juga berpola pikir 'logis'. Jika sesuatu dapat diterima dengan logika, ya memang seperti itulah adanya. Namun jika hal itu tidak logis, aku akan meninggalkannya.

Salah satu prinsip hidupku berdasarkan realisme adalah tidak pernah percaya pada segala sesuatu kecuali Allah dan rukun Iman-Nya. Terkesan setengah-setengah, memang. Tapi memang seperti itulah adanya. Motto hidupku adalah 'everything is traitorous'. Pernah merasakan bagaimana rasanya dikhianati? Sakit? Tentu saja sakit, walaupun sebenarnya mengkhianati orang lain akan lebih sakit lagi rasanya.Sebenarnya jika ditelaah lebih jauh, rasa dikhianati tidak akan muncul dalam hati jika kita tidak menaruh kepercayaan kita pada hal itu. Sebagai contoh, banyak politikus yang berakhir di rumah sakit jiwa karena menaruh seluruh kepercayaannya untuk menjadi anggota DPR. Padahal kenyataannya, segala sesuatu belum tentu terjadi sesuai harapan.

Ada seseorang memprotes prinsip hidupku. Impian dan harapanku, dia mempertanyakannya. Aku diam, memilih kata-kata untuk menjawab pertanyaannya. Impian dan harapan, itulah alasan sebenarnya mengapa kita hidup di dunia ini. Segala sesuatu memang bersifat khianat, termasuk impian dan harapan. Semakin banyak kamu memiliki impian, semakin kamu hidup di dalamnya, semakin pula kamu menjadi manusia yang tidak realistis. Dalam kasus ini, aku mencoba menyederhanakan 'impian' menjadi 'tujuan hidup yang berprinsip'. Sebagai contoh, dalam hidup yang singkat ini aku bertujuan untuk menjadi seorang perwakilan diplomatik dari Indonesia. Tujuan ini berdasarkan prinsipku untuk memajukan bangsa Indonesia di mata dunia. Aku selalu berdecak kagum setiap kali membaca cerita diplomat-diplomat ulung kita pada zaman awal kemerdekaan seperti Soekarno, Moh. Hatta, Adam Malik, dll. Semangat mereka terasa begitu membara untuk memperkenalkan Indonesia di kancah Internasional. Namun sayangnya, kini bangsa kita sepertinya sedang mengalami krisis diplomat yang nasionalis. Kasus Wikileak, misalnya. Bukankah itu memiriskan hati, menyadari bahwa negara kita di'cap' tidak baik oleh negara lain? Lantas, apa saja yang selama ini dilakukan oleh diplomat kita di negara perwakilan sana? Itulah yang menginspirasikanku untuk menjadi seorang diplomat. Memang tidak mudah, oleh karena itu aku berusaha untuk terus belajar dan melakukan yang terbaik.

Aku yakin, tujuan hidup semua manusia di dunia pasti adalah untuk merasakan kebahagiaan, termasuk aku. Namun, kebahagiaan seperti apakah yang dimaksud masing-masing manusia? Bagiku, dalam hidup yang singkat ini, satu-satunya cara untuk merasakan kebahagiaan adalah dengan bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya. Dengan senantiasa mengingat-Nya dan beribadah kepada-Nya, kita pun akan sampai ke tujuan akhir kita, yaitu memasuki surga-Nya.

Namun, bukan berarti aku tidak mempunyai impian yang benar-benar impian, atau sering dikenal dengan obsesi. Mau tahu apa obsesiku? Menikah dan berkeluarga. Sederhana, memang. Tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Aku ingin merasakan bahagianya berkeluarga, yang penuh dengan kasih sayang setiap harinya. Aku ingin apa yang terjadi pada keluarga saat aku menjadi seorang anak tidak terjadi pada keluargaku saat aku menjadi seorang ibu nanti. Aku ingin apa yang kurasakan dahulu tidak akan pernah dirasakan oleh anakku nanti.

Sebenarnya, hal itulah yang menyebabkanku masuk ke dalam ruang realisme. Namun setidaknya, menjadi seorang realis membuatku menjadi orang yang lebih kuat dan tabah dalam menghadapi kenyataan. Untuk mereka yang tidak mengerti diriku, inilah aku. Aku dalam realisme.

Ketika aku mengunjungi perpustakaan kampus tadi siang, tak sengaja kutemukan secarik kertas berisikan tulisan tersebut yang tergeletak begitu saja di atas meja. Aku tak tahu apa yang diekspresikan oleh wajahku setelah membacanya. Namun, jujur saja, hatiku tergugah untuk mengetahui siapa gerangan yang menulis itu. Kurasa....aku menyukai tulisannya, dan pola pikirnya. Tapi sayangnya, tidak kutemukan clue sama sekali. Di sana tidak tertuliskan nama sang penulis. Perlukah aku mengirimkannya ke redaksi majalah kampus demi mengetahui identitas penulis? Dengan menyadari bahwa tiba-tiba tulisannya dipasang di majalah kampus, dia pasti akan senang dan segera mendatangi redaksi. Setelah itu, dia akan berterima kasih padaku dan aku pun dapat berkenalan dengannya. Entah kenapa hatiku meluap-luap membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.

*Sesuai kategorinya, ini hanyalah fiksi. Tulisan ini saya buat sebagai bentuk kecemasan saya menghadapi ujian sekolah esok hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun