“Halo pemirsa, jumpa lagi dengan saya di acara bla bla bla. Seperti biasa, saya akan mengajak Anda untuk menjelajahi surga kuliner yang ada di negeri kita tercinta ini. Dan kali ini, saya sudah berada di restoran bla… bla… bla… yuk kita intip ke dalam,” begitu seorang presenter acara jalan-jalan sekaligus makan-makan membuka caranya.
Sering dengar kalimat itu kan? Kalau mencet televisi di beberapa channel pasti ada acara yang seperti ini. Biasanya pagi atau siang hari.
“Nah, pemirsa spageti jamurnya sudah siap disantap nih. Hmm… perut saya uda ga sabar nih. Yuk kita makan. Hmm….hmm…wenak pemirsa. Jamurnya kenyal banget. Apalagi minumnya pakai jus strowberry. Hmm…makan lagi ah…,” sambung peresenter tadi.
Lalu dengan lahap dan riangnya sang presenter menghabiskan makanan mahal dan mewah tadi. Makanan yang hanya bisa digapai oleh orang berduit. Bukan hanya soal duit banyak tapi juga soal style (penampilan parlente). Jadi nggak sembarang orang bisa masuk restoran itu. Kalau punya duit tapi style wong deso biasanya orang kayak gini agak risih juga masuk restoran. Soalnya bakal diliat-diliatin sama pramusajinya. Bakalan diplototin dari atas sampe bawah. Yah biasalah, kalau restoran itu kan imagennya yah..tempat orang-orang yang katanya berkelas gitu deh.
Acara semacam bincang-bincang dan jalan-jalan sambil mencoba kuliner hampir setiap hari lalu lalang di beberapa channel TV. Laris disukai penonton. Artinya setiap hari juga kita (yang suka nonton) bakalan dibuat ngiler dan kadang miris. Kok bisa Miris? Yah itu kalau kita mau melihat dari sisi kehidupan yang lain. Sementara banyak dari presenter acara itu yang setiap hari mempertontonkan kemudahan dan kenikmatannya mencicipi makanan enak, mahal, bergengsi, dan (beberapa) bergizi. Dan di saat itu juga setiap hari kita menyaksikan banyak orang dewasa hingga balita yang bahkan nggak bisa makan. Kalau pun makan, yah benar-benar seadanya. Ada juga yang mengais dari tempat sampah di luar pagar mall atau digerobak sampah. Cuma bedanya, kelompok yang kedua ini nggak disyuting masuk tv dan nggak dijadiin semacam acara “bincang-bincang” seperti kelompok pertama. Ada sih beberapa acara yang hampir masukin tv kelompok yang kedua tapi lebih banyak unsur eksploitasinya, minim unsur pemberdayaan.
Lalu aku mikir kayak gini. Kayaknya akan lebih baik kalau di acara bincang-bincang kuliner itu, ngelibatin saudara-saudara kita yang susah dapat makanan tadi. Jadi, dia yang jadi tukang testersnya. Si reporter cukup menjelaskan dan menemani tukan si tukang tester. Atau cara lain, yang jadi tukang testernya adalah para pemilik rumah makan kecil-kecilan atau pedagang makanan kaki lima. Setiap hari, berbeda tukang testernya. Silahkan saja dirandom atau disurvei, itu tekhnis saja.
Nah, bisa jadi ini salah satu cara kita ngebantuin saudara-saudara kita yang kurang mampu. Apalagi buat pedagang warung makan kaki lima, mereka sekalian bisa belajar ilmu-ilmu masakan berkelas itu. Siapa tau ini bisa lebih menginspirasi sang pedagang untuk lebih meningkatkan cita rasa masakannya dan menemukan ide-ide masakan yang lebih inovatif. Lumayan bisa ngebantu meningkatkan taraf hidup pedagang kecil. Negara juga terbantu pada akhirnya, khususnya Kementerian Perdagangan dan UKM.
“Wah bisa gawat kalau resep jitu kami berpindahtangan ke pedagang lain. Bisa ditiru sama mereka,” kata sang pemilik restoran kemudian. Hmm…tenang aja Pak/Bu, cara kayak gini nggak bakalan sampai membuat rugi restoran Anda kok. Karena setiap orang punya selera sendiri. Dari segi tempat aja udah beda banget. Yang satu tempatnya pakai AC, duduknya dikursi mewah, pake serbet, sambil dengerin alunan musiknya Kenny.G. Sementara satunya lagi, duduk di pinggir jalan, hanya dihalangin tenda yang udah mulai bintik-bintik hitam, duduknya di bangku (kadang-kadang bangkunya terbatas lagi), belum lagi “keluarga lalat” ikut nongkrong di dalam tenda. Biasanya, orang-orang “berkelas” nggak tertarik makan di tempat kayak gini. Meski pada akhirnya rasa dan pelayanan juga yang membuat orang memilih tempat makan yang lebih baik.
Nilai lainnya adalah kita sekaligus mengajak para bos si empunya tv itu untuk lebih peduli dengan ngelibatin masyarakat kurang mampu masuk ke acara-acaranya. Memang sih Bos tv uda beberapakali ngebantu masyarakat kurang mampu. Misalnya, kayak program yang ngirim mahasiswa untuk nginep dan merasakan langsung kehidupan masyarakat berekonomi rendah itu. Sampe sang mahasiswa nangis-nangis saking terharunya. Atau acara lain, ada juga yang sampai “dituker kehidupannya” selama beberapa hari yang kaya berperan sebagai miskin, dan yang miskin berperan sebagai orang kaya. Yah, kayak cerita-cerita di sinetron gitu.
Tetapi kita juga mesti cek program-program itu bener demikian nggak? Atau jangan-jangan lebih banyak setting dan suasana yang diatur dan diarahkan oleh anak buahnya si bos tivi? Apalagi ujung-ujungnya, diakhir acara anak buahnya si bos tv juga ngasih duit ke masyarakat yang kurang mampu itu. tentu nggak alah kalau ngasih duit. Cuma itu cara yang kurang memberdayakan. Sifatnya hanya charity. Dan dampaknya bisa lebih melanggengkan mental berpasrah pada keadaan.
Kok aku terpikir begini nih: kayaknya bakal lebih bagus kalau uang itu digunakan untuk memfasilitasi mereka ngebuka wirausaha atau aktifitas-aktifitas apapun yang menjadi keahlian masyarakat itu. Jadi mereka didampingi trus sampai mereka mandiri. Nah kayak gitu kan lebih kena sasaran. Sebab kita juga nggak boleh menciptakan keadaan yang bikin masyarakat lemah ekonomi terus berdiam diri aja. Mereka juga harus berusaha dan memaksimalkan potensi yang dikasi Tuhan ke mereka. Menurutku, ini salah satu cara saling tolong menolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H