Mohon tunggu...
Mikopoi Mimikopoi
Mikopoi Mimikopoi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Mahasiswa yang suka membaca

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Gelombang Kehidupan

24 Oktober 2023   15:02 Diperbarui: 24 Oktober 2023   15:10 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

GELOMBANG KEHIDUPAN

Aku termenung di dalam kamar dengan pintu terkunci, menghadirkan suasana tenang sambil menatap jendela kaca yang sudah gelap tak menampakkan lingkungan luar. Bisikan hati yang terus menjerit akan luka masa lalu, terus menghantui jiwa yang seakan hilang makna hidup sejati. Hatiku berkata "Mengapa kamu melakukan itu bodoh!, coba sekarang lihat perjuangan orang tuamu, mereka membanting tulang untuk menghidupi keluarga. Namun, kelakuan busukmu membuat mereka tersiksa, hanya karena kamu ingin hidup bermalas-malasan".

Teringat dengan kejadian itu, aku meneteskan air mata, "Maafkan aku, Ibu Ayah, anakmu selama ini telah berbohong" ucapku dalam hati. Walaupun kejadian itu telah dua tahun berlalu, namun rasa penyesalan seakan tidak pernah mau pergi, selalu menghantui dan membuatku depresi.

Tak terasa, waktu sudah sangat larut malam, hanya suara jangkrik dan suara beberapa motor dari jauh terdengar sampai kamarku, membuatku tersadar dari renungan kelam dan beranjak untuk tidur.

di kala aku tertidur dengan pulas, terdengar suara ketukan dari pintu kamarku tok tok, "Zainal, sudah pagi, segera mandi dan Sholat Subuh" kata Ibuku dengan suara lembut membangunkanku. "Iya Bu" kataku, sambil beranjak dari tempat tidur. Mengambil kacamata dari lemari, aku pergi menuju kamar mandi.

Setelah beberapa menit berlalu, aku selesai mandi, mengambil wudu, lalu lanjut ke Sholat Subuh dengan matahari yang akan segera terbit. Selesai dengan semua itu, aku pergi ke dapur dan bertanya "Apakah aku sudah bisa makan Bu?", "Belum Nal, nasi dan tempenya belum masak", "Ooooo, kalau sudah masak semua, tolong buatkan aku sambal cabai dan garam ya Bu!". Setelah mendengar permintaan itu, Ibuku langsung menjawabnya dengan nada yang tegas "Nal, apakah kamu tidak ingat kejadian masa lalu?, kamu itu dulu pernah sakit lambung selama beberapa bulan, dan selama itu juga kamu tidak masuk sekolah dan hanya berbaring di kasur, apakah kamu ingat itu?. Di masa itu juga, Ayah dan Ibumu khawatir dengan keadaanmu, kalang kabut kami mencari uang untuk kamu bisa berobat".

Terhentak dengan jawaban Ibuku, kepalaku langsung menunduk ke bawah, tak berani melihat wajahnya. "Iya Bu, aku masih ingat" sautku. Setelah kejadian itu, aku dan Ibuku langsung terdiam tanpa mengucapkan satu katapun. Tidak nyaman dengan hal itu, aku meninggalkan dapur tempat Ibu bekerja dan mulai menyiapkan berbagai kebutuhan untuk berangkat sekolah.

Beres menyiapkan berbagai kebutuhan, aku mengambil smartphone dan melihat status WhatsApp teman-temanku. Di sana, terlihat kebersamaan, liburan, kekayaan, kesejahteraan, pekerjaan, dll. Hal itu membuatku merasa iri, walaupun aku tahu bahwa itu semua hanyalah panggung sandiwara saja. Namun apalah daya, apa yang bisa aku tunjukkan kepada mereka. Aku hanya bisa memandang mereka dengan peribahasa "Rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri". Rasa iri itu adalah representasi dari penyesalan pada masa lalu, waktu di saat aku membuang kebahagian dan menghadirkan kecemasan bagi orang-orang di sekelilingku.

Aku memahami, bahwa roda waktu tidak bisa diputar kembali. Oleh sebab itu, akan aku ukir wajah bahagia untuk mereka, dengan kabar kesuksesanku di masa depan sebagai pelita.

Hari demi hari telah berlalu, bulan demi bulan telah berganti. Aku mulai mencari jati diri "Aku ini cocoknya jadi apa ya saat sudah dewasa nanti?" ucapku dalam hati. Hal itulah yang membuatku menjadi sering melamun, supaya aku bisa berlatih sedari dini. Aku mencari referensi dari sekian banyak pekerjaan yang ada, awalnya aku tertarik menjadi TNI, karena Om-ku bekerja sebagai seorang TNI. Melihat betapa gagahnya perawakan Om-ku, dimulai dari baju yang rapi, tubuh yang atletis, dihormati orang-orang, menjadi idaman banyak wanita, menggugah hatiku ingin menjadi seorang tentara. Namun, impian itu seakan mustahil bagiku, karena aku mempunyai riwayat penyakit minus, dan aku sedikit tertawa dengan Impian pertamaku itu "Hah, tidak mungkin" gumamku.

Setelah melakukan persepsi visual kepada Impian menjadi TNI, aku mulai mencari impian baru, yaitu menjadi perawat di sebuah rumah sakit. Impian baruku ini, tidak terlepas dari tumbuhnya motivasi diri, karena orang-orang terdekatku. Istri dari Om-ku adalah orangnya, ia merupakan seorang perawat dari rumah sakit besar di Kota Surabaya. Kerap kali ia menceritakan suka dan duka menjadi seorang perawat "Kalau mau menjadi perawat, kamu harus kuat melihat darah, pandai merawat luka pasien, Ikhlas membersihkan kotoran, sabar menghadapi emosi pasien, dan bisa meredam emosi negatif pasien akibat dari kesengsaraan penyakitnya. Tapi kalau sudah menjadi perawat di rumah sakit besar seperti Tante, bayarannya besar Nal" ucap Tanteku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun