Mohon tunggu...
Miki Mayang
Miki Mayang Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu dua anak

Tinggal di Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Review Novel "Eli & Emil" Sebuah Kisah Cinta Tanpa Hujan dan Senja

9 Maret 2021   14:12 Diperbarui: 13 Maret 2021   10:06 968
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Novel Eli & Emil ini adalah karya kolaborasi Indradya Susanto bersama Dian Martosuwito. Menurut penulisnya, seperti banyak hal lain di dunia ini, Eli & Emil pun awalnya dari main main. Bermula dari obrolan tentang masa kecil dan remaja, buku, musik, film, makanan, dan akhirnya terpikir untuk menulis cerita bareng. Dari serangkaian proses panjang yang diawali saling bertukar naskah, kemudian dilanjut dengan mencari titik sambung antara dua kepala yang tentunya beda isi dan gaya, hingga berhasil terealisasi menjadi novel seru ini, semangat dan daya juang keduanya benar-benar patut diacungi jempol.

Indradya Susanto adalah lulusan Sastra Perancis Universitas Gajah Mada yang sebelum bekerja sebagai guru Bahasa Inggris di sekolah swasta dan kursus bahasa di Ukraina, pernah menjadi wartawan dan instruktur Bahasa Indonesia untuk ekspatriat. Setelahnya, sempat menjadi editor Penerbit Mizan di Bandung. Tulisannya telah diterbitkan dalam buku antologi kisah perjalanan berjudul Norak-Norak Bergembira pada tahun 2012.

Sedangkan Dian Martosuwito adalah lulusan Universitas Negeri Malang. Sebelum memutuskan untuk berkarir di rumah, ia sempat mengajar di salah satu SMA di kota Malang. Karya-karyanya pernah diterbitkan dalam buku antologi cerpen Dejavu Malam Perawan di tahun 2019 dan Episode Malam pada 2020.

Novel ini diterbitkan secara mandiri dengan menggandeng penerbit Epigraf. Setelah melalui serangkaian diskusi dengan desainernya, akhirnya dipilihlah sketsa angkringan dengan latar warna merah ceria sebagai gambar kovernya. Tentu ada beberapa alasan dibalik pemilihan tema angkringan ini. Salah satunya, karena dalam cerita ada beberapa adegan di angkringan. Juga agar unsur Jogjanya lebih menonjol. Alasan lain, konon penulisnya kangen angkringan, suasana dan budaya Jogja.

Tokoh utama dalam cerita, tentu saja Eli dan Emil. Eli seorang gadis cantik asal kota Malang, sedangkan Emil adalah siswa dari salah satu SMA di Jakarta. Sepasang remaja ini tidak sengaja bertemu setelah orang tua mereka memindahkan keduanya di sekolah yang sama di Jogja.

Di Jogja, Eli tinggal bersama pakde, bude, dan Dila, sepupunya. Pertemuan keduanya makin intens setelah Emil menjadi guru les privat Bahasa Inggris untuk sepupunya itu. Lama kelamaan keduanya saling menyukai sehingga hidup mereka terasa lebih meriah dan penuh warna.

Ada beberapa kisah lucu dan menggemaskan dalam novel ini, khas remaja yang masih malu-malu tatkala hendak memulai sebuah hubungan. Seperti pada adegan awal mula Eli dan Emil berpacaran ini:

"Kamu kan katanya belum pernah pacaran, nih..." tanya Emil.

"Hmm... terus?" Eli memandangnya.

"Aku kan juga belum..." sambung Emil. Eli langsung bisa menebak ke mana arah pembicaraannya.

"Gimana kalo kita pernahin aja?" tanya Emil pelan. Dia berusaha tetap menatap mata Eli.

Eli menunduk. Tersipu. Mendongak lagi ke arah Emil. "Maksudmu pernahin tuh piye, to?"

Emil tersipu juga. "Yaa, kamu tahu, lah. Kita pernahin aja. Biar sama-sama pernah. Mau nggak?"

Eli menunduk lagi. Tersipu lagi. Eli menoleh dan melihat Emil tampak gugup, tapi masih berusaha tersenyum. "Kamu, ih! Aku baru denger itu, pernahin... pernahin."

Emil tertawa kikuk dan Eli pun ikut-ikutan (Halaman 80-81).

Tapi saat mereka mengira akan bersama selamanya, takdir berkata lain. Eli terpaksa harus menerima perjodohan dengan putra dari kawan lama ayahnya. Meski semula sempat terpikirkan untuk kawin lari, namun Eli dan Emil masih tergolong cukup realistis dalam menyikapi keputusan orang tuanya itu, tanpa drama-drama penolakan yang biasa terjadi pada remaja seusia mereka yang cenderung berperilaku labil. Mau serasional apa pun seseorang, jika sedang jatuh cinta kemudian harus berpisah, niscaya semua logika dan akal sehatnya akan terburai. Namun ketika hati dan logika sedang bertentangan, tentu lebih baik mengikuti akal sehat.

Cerita di novel ini juga sedikit menyinggung tentang penyakit bipolar. Seperti yang kita ketahui, bipolar adalah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perubahan emosi secara drastis dan bahkan depresif. Yang mana hal itu sangat mempengaruhi proses perjalanan hidup Eli, tatkala orang terdekatnyalah yang menderitanya.

Lalu bagaimana kisah hidup Eli selanjutnya? Bahagiakah hidupnya bersama lelaki pilihan orang tuanya? Lantas bagaimana bisa Eli dan Emil berjumpa lagi setelah tiga belas tahun berpisah dan tidak saling memberi kabar?

Yang bikin nyesek, saat mengetahui bahwa sebenarnya Eli sempat mengirim email ke akun Emil yang ternyata sudah tidak dipakai lagi karena lupa password, sedangkan Eli mengira bahwa Emil tidak membalasnya sebab sudah tak mau lagi berkomunikasi dengannya. Sungguh konyol. Sepertinya takdir berusaha memisahkan mereka dengan berbagai cara. Takdir yang sama, yang pernah memberi kesempatan kepada kedua jiwa itu untuk saling mengenal dan menyayangi.

Lalu kenapa keduanya dipertemukan kembali? Apakah takdir hendak mengulang masa lalu?

Dan yang paling bikin baper adalah momen saat Emil hendak kembali ke Jakarta, lalu Eli pun mengantar Emil sampai ke stasiun. Namun Emil tetap tidak mau beranjak meninggalkan Eli, hingga rangkaian gerbong kereta semakin bergerak menjauh. Ah, sweet bangeet...

Jika biasanya kata "hujan" dan "senja" selalu dilekatkan dengan kisah cinta dan romantisme, tidaklah begitu dengan Eli & Emil. Karena ini adalah sebuah kisah cinta tanpa melibatkan hujan dan senja. Novel bersetting tahun 90-an dengan segala pernik suasana di era itu, hadir untuk menjawab kerinduan sembari mengajak kita sejenak bernostalgia mengenang masa remaja.

_____

* Judul: Eli & Emil

* Penulis: Indradya Susanto & Dian Martosuwito

* Penerbit: Epigraf, 2021

* Tebal: 292 halaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun