Mohon tunggu...
Michael Agustinus
Michael Agustinus Mohon Tunggu... -

Penulis bebas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Riwayat Keroncong: Dari Kampung Tugu Sampai Bengawan Solo

11 Maret 2015   17:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:48 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berdasarkan penelitian Victor Ganap, musik orang-orang Tugu banyak mendapat pengaruh dari lagu rakyat Portugis yang dsiebut fado. Fado adalah nyanyian para pelaut Portugis yang populer pada abad 16. Fado berakar dari tradisi orang-orang Moor (Maroko) dan Arab yang pernah menguasai Portugis di abad 13. Moresco, judul lagu keroncong pertama, dalam bahasa Portugis berarti ‘nyanyian dan tarian orang Moor’.

Musik keroncong baru menyebar keluar dari Kampung Tugu pada akhir abad 19 ketika lirik keroncong mulai dinyanyikan dalam bahasa Melayu. Ahmad Munjid, peneliti sejarah keroncong, mengemukakan bahwa orang-orang Indo Belanda dan pribumi mulai meminati musik keroncong sekitar tahun 1870-an. Musik keroncong lalu juga menyebar keluar dari Batavia ke Surabaya melalui kelompok pertunjukan Toenil (teater) yang menggunakan keroncong sebagai pengiring.

Unsur dan bentuk keroncong semakin kaya ketika pada 1920-an masuk musik-musik Barat ke Indonesia. Mulai dari musik jazz, Hawaiian, dan orchestra mempengaruhi musik keroncong, antara lain pada penggunaan alat musiknya, hitungan dan irama lagu, serta kecenderungan keaksaraan dalam musik, yaitu penggunaan partitur musik.

Pada 1942, ketika Jepang merebut Indonesia dari tangan Belanda, musik keroncong kembali bertransformasi. Jepang berupaya menghapus warna Barat dari Indonesia, termasuk pada musik keroncong. Melalui lembaga kebudayaannya yang bernama Keimin Bunka Sidhoso, Jepang mendorong ‘peng-Indonesia-an’ dan penciptaan lagu-lagu keroncong yang bertemakan cinta tanah air. Maka, lahirlah lagu-lagu keroncong seperti Bengawan Solo, Jembatan Merah, Suci, dan lain-lain.

Menurut Ahmad Munjid, kebijakan di era pendudukan Jepang ini amat mempengaruhi perkembangan keroncong, sebab pada masa selanjutnya musik keroncong yang berkembang di Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, Semarang cenderung bercorak hasil rekayasa Jepang. Corak keroncong yang dimainkan orang-orang Kampung Tugu dan Kemayoran tidak lagi berkembang karena apresiasi masyarakat telah diarahkan seragam, yaitu menganggap keroncong yang ‘pantas’ dinikmati adalah keroncong ‘Indonesia’. Demikianlah perkembangan bentuk keroncong hingga menjadi seperti yang kita kenal saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun